Ketika Uang Berbicara, Koruptor pun Bebas Berkelana
Oleh: Kunthi Mandasari
(Pegiat Literasi)
Lensa Media News – Publik dibuat tercengang karena DPO bisa keluar masuk Indonesia dengan leluasa. Bahkan bisa lolos dalam mengurus e-KTP maupun paspor. Ialah Djoko Tjandra, buronan 11 tahun dalam kasus korupsi hak tagih (cessie) Bank Bali.
Selama ini jejak keberadaannya tak terendus sama sekali. Sejak tahun 1999 ketika kasus cessie Bank Bali diusut hingga Djoko Tjandra kabur ke luar negeri pada tahun 2009. Tepat sehari sebelum vonis dibacakan oleh MA. Keberadaannya selalu menjadi misteri.
Nama Djoko Tjandra kembali menjadi tajuk sejak kehadirannya di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel) pada awal bulan Juni 2020. Disusul dengan pembuatan e-KTP tanpa dicurigai sebagai buronan. Bahkan bisa leluasa mendapatkan paspor hingga surat jalan.
Sontak ulah Djoko Tjandra membuat publik takjub. Bukan hanya karena bebas melanglang buana, tetapi sejumlah jaringan bisnisnya pun tetap terawat lewat Mulia Group yang pernah didirikannya. Sebuah gergasi properti yang punya aset hotel dan gedung pencakar langit di Jakarta.
Salah satu tandanya muncul dari sengketa di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Saat ini, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) melayangkan gugatan kepada PT Sanggarcipta Kreasitama terkait sewa gedung Wisma Mulia 1 selama tiga tahun sejak 17 Januari sampai 14 Juli 2021 sebesar Rp. 412,30 miliar. Gugatan perdata nomor 373/Pdt.G/2020/PN JKT.SEL terdaftar di PN Jakarta Selatan sejak 12 Mei 2020 (Tirto.id, 25/07/2020).
Belakangan ini pun baru diketahui, bahwa ada keterlibatan oknum petugas guna memuluskan aksi Djoko Tjandra. Tiga jenderal resmi dicopot dari jabatannya, yaitu Kepala Biro Koordinasi dan Pengawasan PPNS Bareskrim Polri. Sebab terbukti menandatangani surat jalan untuk Djoko melintas dari Jakarta ke Pontianak Juni lalu. Serta dua perwira tinggi lain di Korps Bhayangkara karena terlibat dalam sengkarut penghapusan red notice atas nama buronan itu dari data Interpol sejak 2014 lalu (Cnnindonesia.com, 18/07/2020).
Jika melihat jejaring bisnisnya, pantas gerak Djoko Tjandra begitu lihai. Dalam sistem kapitalisme, keberadaan uang begitu dominan. Bisa mengendalikan pejabat di segala lini. Bahkan membeli hukum maupun aparaturnya. Apalagi hukum hasil kesepakatan manusia yang konon katanya menjadi wakil rakyat. Namun, sejatinya hanya mengakomodir kepentingan korporat.
Korupsi di negeri ini telah menggurita. Mulai dari hulu hingga hilir. Bukan lagi dikerjakan secara individu tetapi berkelompok dan sistemik. Jangan lagi tanyakan moral mereka. Meski kejahatan dan kongkalikong pejabat terkait korupsi telah terkuak, nyatanya kejahatan serupa masih terus berulang. Hal ini karena sistem demokrasi kapitalis yang melahirkan kebebasan. Akibatnya, pertanggungjawaban di hari akhir tak pernah membuat takut. Alhasil, berbuat suka-suka asal sejahtera, menjadi hal biasa.
Kalaupun akhirnya kini Djoko Tjandra berhasil dibekuk, itu bukanlah sebuah prestasi yang patut disanjung tinggi. Melainkan sebuah amanah yang wajib ditegakkan. Publik sudah menantikan, sekiranya hukuman berat apa yang dijatuhkan. Sebagai bukti nyata tegaknya keadilan. Bagaimanapun publik terlanjur jemu karena selama ini para koruptor hanya diganjar hukuman ringan. Bahkan masih bisa hidup mewah di balik jeruji atau plesiran. Akankah kasus Djoko Tjandra menjadi tonggak berlakunya keadilan atau akan menguap seiring berjalannya waktu?
Dalam syariah, korupsi disebut dengan perbuatan khianat. Pelakunya disebut pengkhianat, yaitu tindakan penggelapan uang yang diamanatkan atau dipercayakan kepada seseorang. Bukan masuk definisi pencuri (sariqah) dalam syariah Islam, sebab definisi mencuri adalah mengambil harta orang lain secara diam-diam (Lihat Abdurrahman Al Maliki, Nizhamul Uqubat, hlm. 31).
Oleh karena itu, sanksi (uqubat) untuk pelaku khianat bukanlah hukum potong tangan bagi pencuri sebagaimana diamanatkan dalam Alquran surah Al Maidah: 38, melainkan sanksi ta’zir, yaitu sanksi yang jenis dan kadarnya ditentukan oleh hakim. Bentuk sanksinya bisa mulai dari yang paling ringan, seperti sekadar nasehat atau teguran dari hakim, bisa berupa penjara, pengenaan denda (gharamah), pengumuman pelaku di hadapan publik atau media massa (tasyhir), hukuman cambuk, hingga sanksi yang paling tegas, yaitu hukuman mati. Teknisnya bisa digantung atau dipancung. Berat ringannya hukuman ta’zir ini disesuaikan dengan berat ringannya kejahatan yang dilakukan (Abdurrahman Al Maliki, Nizhamul Uqubat, hlm. 78-89).
Penyelesaian kasus korupsi tak akan pernah menyentuh akar, selama hukum demokrasi-kapitalis diterapkan. Karena kasus korupsi erat kaitannya dengan penerapan sistem fasad. Maka hanya dengan menerapkan syariah Islam (nantinya) sebagai satu-satunya sistem hukum tunggal di negeri ini, akan dapat memainkan perannya yang sangat efektif untuk memberantas korupsi. Baik peran pencegahan (preventif) maupun penindakan (kuratif).
Wallahu a’lam bishshawab.
[ah/LM]