Kalangan Bawah Haruskah di Kolong Jembatan?
Oleh: Rut Sri Wahyuningsih
(Institut Literasi dan Peradaban)
Lensa Media News – Jokowi ingin kalangan menengah atas merasa aman beraktivitas di luar rumah. Ketua Satgas Pemulihan Ekonomi Nasional Budi Gunadi Sadikin menyebut, perkataan Jokowi adalah bentuk perhatian khusus kepada masyarakat kelas menengah atas.
“Presiden, saat terakhir kami dipanggil, menekankan bahwa harus benar-benar perhatikan golongan menengah ini. Mereka rasa khawatirnya tinggi,” kata Budi dalam konferensi pers daring dari Istana Kepresidenan, Jakarta (KOMPAS.com, 7/8/2020).
“Ini harus diubah menjadi rasa aman sehingga mereka mau keluar rumah, melakukan kontak fisik, sehingga roda ekonomi berputar kembali,” tambah Budi. Hampir 60 persen dari roda ekonomi Indonesia berasal dari consumer spending atau belanja masyarakat.
Namun, pada masa pandemi Covid-19 ini, tidak banyak orang yang mau melakukan transaksi, khususnya yang mengharuskan ke luar rumah. “Bukan karena uangnya tidak ada, terutama yang golongan menengah ke atas, tapi karena mereka takut untuk berbelanja,” kata Budi.
Kembali fokus ekonomi yang menjadi perhatian. Bahkan dengan gamblang pemerintah mengatakan bahwa masyarakat menengah atas inilah yang akhirnya akan lebih diperhatikan dan mendapat keistimewaan. Sebab merekalah yang paling berpengaruh dalam kelesuan ekonomi ini dengan tidak membelanjakan uangnya sehingga pertumbuhan melambat.
Lantas bagaimana dengan masyarakat bawah, miskin dan papa? Apakah mereka bukan warga negara Indonesia? Mengapa harus dipilah? padahal menurut Badan Pusat Statistik (BPS) persentase penduduk miskin pada Maret 2020 mencapai 9,78 persen. Jumlah ini meningkat 0,56 persen poin terhadap September 2019 dan meningkat 0,37 persen poin terhadap Maret 2019.
“Jumlah penduduk miskin pada Maret 2020 sebesar 26,42 juta orang, meningkat 1,63 juta orang terhadap September 2019 dan meningkat 1,28 juta orang terhadap Maret 2019,” seperti dikutip dalam paparan Kepala BPS, Kecuk Suhariyanto dalam video conference di Jakarta (liputan6.com, 15/7/2020).
Jika tinggal di wilayah negara yang sama tentu tak ada alasan menolak dan bahkan menganggap mereka tak ada. Sebab jika digali lebih mendalam kemiskinan mereka tak selalu karena mereka malas atau tak mampu bekerja. Namun, ada banyak aspek yang kemudian memaksa mereka tereliminasi dari “masyarakat” yang dimaksud negara.
Faktor-faktor yang memiskinkan mereka terancang secara sistemis. Dari mulai tidak berpihaknya negara dalam menciptakan lapangan pekerjaan yang layak bagi individu masyarakat, negara lagi-lagi lebih condong kepada asing dengan mengijinkan TKA asing asal China masuk, begitu pula korporasi dan para investor yang diundang untuk mengeksplore SDA Indonesia habis-habisan, ekosistem dan tata kelola ruang baik di desa maupun kota.
Perekonomian ditopang olah utang LN yang entah kapan lunas terbayarkan sebab bunga ribanya saja jumlahnya sudah diluar jangkauan APBN, kemudian pungutan Pajak, yang setiap tahun dipungut pada setiap orang namun lagi-lagi korporasi mendapat keringanan.
Biaya hidup yang mahal makin membuat rakyat sudah jatuh tertimpa tangga pula. Belum lagi dengan biaya pendidikan, kesehatan, keadilan hukum dan sanksi yang lagi-lagi justru menjadikan rakyat sebagai objek penderita.
Semua bersumber pada satu akar permasalahan saja yaitu sistem sekular , yang kemudian melahirkan sistem politik demokrasi dan sistem ekonomi kapitalisme. Keduanya berasal dari pemikiran manusia yang terbatas dan menafikan Allah SWT sang Khalik dan Mudabbir ( pengatur).
Rasulullah bersabda Dari Ma’qil Bin Yasâr Radhiyallahu anhu berkata, aku mendengar Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidaklah seorang hamba pun yang diberi amanah oleh Allâh untuk memimpin bawahannya yang pada hari kematiannya ia masih berbuat curang atau menipu rakyatnya, melainkan Allâh mengharamkan surga atasnya. [Muttafaq alaih]
Sudahlah penguasa berlaku zalim, faktanyapun negara tak serius mengurusi urusan rakyat secara paripurna, dan jika belum muncul kesadaran untuk perubahan, lantas menunggu apalagi? Kita butuh pemimpin yang mencintai seluruh rakyat karena sadar bahwa amanah berasal dari Allah.
Wallahu a’ lam bish showab.
[ln/LM]