Dikala Guru Susah Korporasi Dapat Berkah
Oleh: Kunthi Mandasari
(Pegiat Literasi)
Lensa Media News – Program Organisasi Penggerak yang diinisiasi oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menuai kontra. Alasan yang mengemuka ialah proses seleksi yang tidak transparan. Bahkan dua ormas Islam, yaitu Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU) memilih mundur.
Program Organisasi Penggerak adalah bagian dari visi-misi bertajuk ‘Merdeka Belajar’ yang digagas Mendikbud, Nadiem Makariem. Nadiem menyediakan dana Rp 595 miliar per tahun untuk dibagi kepada organisasi masyarakat yang lolos menjadi fasilitator program ini (bbc.com, 24/07/2020).
Besar harapan program tersebut mampu meningkatkan kualitas pendidikan yang masih rendah. Mengingat Indonesia berada di bawah rata-rata negara anggota Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi. Dalam penelitian bertajuk Programme for International Student Assesment tahun 2019, pelajar Indonesia menempati peringkat ke-74 dari total 79 negara yang dikaji.
Program Organisasi Penggerak dianggap penting untuk meratakan kualitas guru di seluruh wilayah Indonesia. Dalam pelaksanaannya, program ini terbuka untuk umum. Siapa pun bisa mengambil bagian, termasuk pihak swasta (korporasi). Bahkan ada jaminan bebas dari unsur diskriminasi. Karena tenaga pemerintah saja dianggap tidak cukup. Ditambah masih adanya ketimpangan antara daerah maju dan daerah terpencil yang jauh sekali. Dengan adanya tenaga dari luar yang tidak terikat birokrasi, diharapkan bisa mempercepat kualitas pendidikan. Benarkah begitu?
Kualitas sebuah pendidikan tidak hanya ditentukan oleh strategi yang mumpuni. Tetapi juga dilihat dari kehadiran negara dalam pemenuhan kebutuhan pendidikan berkualitas bagi seluruh rakyat. Jika negara masih setengah hati apalagi masih menimbang untung rugi, selama itu pula kualitas pendidikan akan terus terpuruk.
Apalagi jika guru yang menjadi pion utama masih belum mendapat perlakuan yang layak. Selama ini para guru hidup jauh dari kata sejahtera. Lantas bagaimana mungkin guru bisa maksimal mengabdikan dirinya? Jika sekedar makan saja sulit untuk terpenuhi. Bahkan saat pandemi tunjangan mereka harus ikut dikebiri untuk penanganan virus Covid-19.
Jika saat ini para guru sedang dirundung susah, maka pihak korporasi justru sedang mendapat berkah. Merujuk pengumuman resmi Kemendikbud, ada dua yayasan bentukan perusahaan swasta yang lolos. Yaitu Yayasan Putera Sampoerna dan Yayasan Bhakti Tanoto. Ironis, perusahaan yang seharusnya turut aktif menyumbangkan dana untuk mencerdaskan anak bangsa justru menerima dana hibah. Program yang menjadi unggulan Kemendikbud justru menjadi jalan bagi kapital untuk meraup keuntungan.
Wajar jika program ini menuai kontra. Anggota DPR RI fraksi Partai Gerindra Fadli Zon mengatakan, “Di atas kertas, konsepnya kelihatan bagus. Namun, konsep yang bagus saja terbukti tidaklah cukup. Ada banyak aspek lain yang harus dipertimbangkan,” kata Fadli, Sabtu (25/7/2020).
Asep Saefuddin, yang juga seorang pengamat pendidikan menilai Program Organisasi Penggerak (POP) harus memiliki konsep yang kuat. Ia beranggapan, ide gotong royong dalam POP hal yang baik, tetapi harus jelas secara holistik (republika.co.id, 26/07/2020). Konsep gotong royong yang diusung dalam program tersebut kian menguatkan dugaan, bahwa negara hendak berlepas tangan dari tanggung jawabnya dalam dunia pendidikan. Kemudian menyerahkan pada swasta.
Padahal pendidikan merupakan bagian kebutuhan mendasar manusia (al-hâjat al-asasiyyah) yang harus dipenuhi oleh setiap manusia seperti halnya pangan, sandang, perumahan dan kesehatan. Pendidikan adalah bagian dari masalah politik yang diartikan sebagai r‘âyah asy-syu’ûn al-ummah (pengelolaan urusan rakyat). Negara wajib hadir untuk menunaikan tanggung jawabnya. Memberikan gaji yang layak kepada para guru/ulama, menyediakan sarana dan prasarana yang memadai.
Agar mendapatkan generasi dengan SDM yang mumpuni dalam bidang ilmu, sekaligus memahami nilai-nilai Islam serta berkepribadian Islam yang utuh. Setiap prinsip kurikulum, strategi, dan tujuan pendidikan hanya boleh didasarkan pada akidah Islam. Bukan dari akidah yang lain. Dari sana pernah lahir lembaga yang memiliki sistem dan kurikulum pendidikan yang sangat maju ketika itu.
Beberapa lembaga pendidikan itu, antara lain, Nizamiyah di Baghdad, Al-Azhar di Mesir, Al-Qarawiyyin di Fez, Maroko, dan Sankore di Timbuktu, Mali, Afrika. Dari beberapa lembaga itu, berhasil melahirkan tokoh-tokoh pemikir dan ilmuwan Muslim yang sangat disegani. Misalnya, Al-Ghazali, Ibnu Ruysd, Ibnu Sina, Ibn Khaldun, Al-Farabi dan Al-Khawarizmi.
Oleh karena itu, penyelesaian problem pendidikan tidak bisa hanya dilakukan melalui rumusan strategi, tetapi harus ada perubahan yang mendasar dan dilakukan secara fundamental. Hal itu hanya dapat diwujudkan dengan melakukan perbaikan secara menyeluruh yang diawali dari perubahan paradigma pendidikan kapitalistik menjadi paradigma Islam.
Wallahua’lam bishshawab.
[ra/LM]