Duka Pendidik di Tengah Pandemi
Oleh: Putri Nurbayani Silaban
(Aktivis Mahasiswa)
Lensa Media News – Dunia pendidikan kini dihebohkan dengan adanya langkah pemerintah yang akan memotong tunjangan guru untuk penanganan Covid-19, melalui Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 54 Tahun 2020 tentang Perubahan Postur dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2020. Tunjangan guru setidaknya dipotong pada tiga komponen, dikutip dari mediaindonesia.com (26/7).
Lagi-lagi tindakan pemerintah kali ini seakan menegaskan semakin rendahnya keberpihakan pemerintah pada dunia pendidikan. Bagaimana tidak, mencerdaskan generasi bangsa merupakan tugas berat yang harus dipikul oleh para guru, terlebih dalam keadaan pandemi seperti sekarang. Mereka harus bekerja ekstra. Tak hanya menguras waktu, pikiran, tapi juga menguras dompet untuk membeli kuota. Seharusnya guru mendapatkan tunjangan lebih, bukan malah sebaliknya. Apalagi guru juga termasuk masyarakat yang terdampak Covid-19.
Jika dianalisa lebih dalam, pengalihan dana pendidikan untuk bantuan corona merupakan tindakan ceroboh yang dilakukan pemerintah, sebab pendidikan merupakan hal yang vital bagi masa depan generasi bangsa. Di sisi lain, menurut peneliti politik dari The Habibie Center, Bawono Kumoro mempertanyakan kepatutan keputusan presiden yang membayar beberapa orang dengan upah yang sangat tinggi. Sebut saja Megawati Soekarnoputri sebagai Ketua Dewan Pengarah diupah sebesar Rp112 juta per bulan, Kepala BPIP Yudi Latif yang digaji Rp 76 juta, dan staf ahli sebesar Rp 36 juta per bulan. Jumlah ini dianggap terlalu tinggi di tengah-tengah melemahnya ekonomi Indonesia. Selain itu karena dianggap tidak sesuai dengan beban kerja anggota badan (BCC News Indonesia). Bawono juga mempertanyakan tetap berjalannya proyek ibu kota baru yang menghabiskan dana 664 Miliar (CNBC Indonesia). Kurang tepatnya penempatan alokasi dana oleh pemerintah, tentu akan menguntungkan segelintir pihak dan merugikan pihak lainnya.
Berbeda dengan Islam dimana pemimpinnya (khalifah) selalu berhati-hati dalam mengambil keputusan dan berorientasi pada kemaslahatan seluruh rakyatnya, sebagaimana sabda Rasulullah: “Siapa saja yang diserahi Allah untuk mengatur urusan kaum muslim, lalu ia tidak memperdulikan kebutuhan dan kepentingan mereka, maka Allah tidak akan peduli kebutuhan dan kepentingannya (pada hari kiamata). ”
Telah jelas teladan yang dicontohkan oleh Umar Bin Khattab. Saat beliau menjadi khalifah, beliau harus menghadapi krisis akibat paceklik di Madinah. Saat itu, baitul mal (kas negara) tidak mencukupi untuk menanggulangi krisis. Maka Umar pun menghubungi gubernur di berbagai daerah yang kaya seperti Mesir, Syam, Irak dan Persia yang merupakan bagian dari Negara Khilafah. Para gubernur pun langsung mengirim bantuan. Khalifah Umar sama sekali tidak meminta bantuan dari negara asing. Sebab posisi negara akan lemah jika meminta bantuan negara asing. Begitulah sistem Khilafah. Khalifah akan berusaha memaksimalkan semua potensi negara untuk menyelesaikan semua permasalahan dalam negeri. Pos-pos pemasukan negara seperti dari kepemilikan umum, dikelola sebaik-baiknya agar mendatangkan keuntungan dan kemaslahatan untuk rakyatnya sendiri.
Wallahua’lambishawwab.
[lnr/LM]