Cukupkah Memiskinkan Koruptor?

Berbagai wacana untuk memberi efek jera pelaku tindak korupsi banyak dilontarkan oleh berbagai pihak. Salah satunya adalah dengan memiskinkan koruptor.

Pengamat Hukum Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar menilai bahwa korupsi masuk dalam kategori kejahatan dari dimensi ekonomi, maka hukumannya juga harus berkaitan dengan dimensi ini. Menurutnya lebih baik hukumannya ada efek jera di bidang ekonomi. Istilah lainnya dimiskinkan secara ekonomi.

Sekadar memberikan sanksi hukum berupa memiskinkan para koruptor, tentu saja tidak akan cukup memberi efek jera. Dengan pemiskinan tersebut belum bisa dipastikan apakah akan mampu mengurangi tingkat korupsi secara signifikan. Mengingat praktik hukum atas pelaku tindak korupsi di Indonesia menunjukkan perlakuan layaknya anak emas. Alih-alih akan memberikan efek jera, yang ada malah memberikan ruang tawar – menawar antara pelaku dengan pemangku hukum. Sudah banyak kasus korupsi, walaupun pelakunya sudah masuk hotel prodeo tapi mendapatkan fasilitas layaknya hotel bintang lima.

Padahal terkait sanksi hukum bagi pelaku korupsi telah diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi pasal 2 ayat (1) dan (2). Bahkan di dalam ayat (2) disebutkan bahwa dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu pidana mati dapat dijatuhkan. Artinya peraturan yang ada tinggal diimplementasikan saja.

Hal itu tentu butuh keseriusan dan ketegasan dari pemangku hukum. Sehingga hukuman yang sudah ada bisa memberi efek jera pada pelaku tindak korupsi.

Tentu hal tersebut tidak akan pernah terjadi di dalam sistem Islam. Karena terkait sistem sanksi bagi pelaku kriminal, syariat Islam sudah mengaturnya. Termasuk terhadap pelaku tindak korupsi. Walaupun tindak pidana korupsi bukan termasuk hudud yang sanksinya ditetapkan oleh Allah, namun syariat tetap mengaturnya. Islam menetapkan bahwa hukuman bagi pelaku tindak korupsi yaitu dengan hukuman ta’zir yang diserahkan kepada ulil amri dalam hal ini khalifah.

Wallahu a’lam bishowwab.

 

Ratni Kartini, S.Si
(Kendari, Sulawesi Tenggara)

 

[LM]

Please follow and like us:

Tentang Penulis