Tarik Ulur RUU P-KS
DPR resmi mencabut Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU P-KS) dari Program Legislasi Nasional atau Prolegnas 2020. Alasannya, karena masih menunggu pengesahan RUU tentang Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang akan sangat terkait dari sisi penjatuhan sanksi. Pun, lobi-lobi dengan seluruh fraksi di DPR masih sulit dilakukan (2/7).
Merespon hal ini, sebenarnya patut diapresiasi adanya upaya untuk menciptakan kekuatan hukum demi melindungi perempuan. Mengingat, data dari Komnas Perempuan menyebutkan bahwa pada 2018 mereka menerima laporan 406.178 kasus dan pada 2019 naik menjadi sebanyak 431.471 kasus kekerasan terhadap perempuan. Terlebih, di masa pandemi terjadi peningkatan 75% kasus kekerasan terhadap perempuan.
Sayangnya, RUU ini memiliki satu masalah serius, yaitu pemisahan agama dari keseharian masyarakat. Ada kekosongan terkait pengaturan kejahatan seksual, yakni ihwal hubungan seksual yang melanggar norma susila dan agama.
Ya, jika masyarakat hanya membaca draftnya saja, seringkali tidak melihat ada masalah dalam pasalnya. Masalah terlihat ketika mencermati definisinya. Nama RUU ini memang bagus, Penghapusan Kekerasan Seksual, siapa yang tak setuju, semua pasti setuju. Masalahnya, kekerasan seksual diatur dalam RUU ini, namun penyimpangannya tidak diakomodir.
RUU P-KS terasa lebih fokus kepada kekerasan, namun perilaku seksnya tidak. Contohnya terkait pelacuran, di dalam RUU yang dipersoalkan adalah jika terjadi kekerasan di dalam praktik tersebut, bukan pelacurannya. Sama halnya dengan aborsi, yang dipersoalkan adalah kekerasannya, bukan aborsinya.
RUU ini juga tidak mengakomodir perilaku seksual menyimpang dan tidak mencakup norma yang sebenarnya. Padahal pelacuran, zina, dan homoseks juga bentuk kekerasan. RUU yang diklaim mengedepankan prinsip non-diskriminasi itu nyatanya hanya menyinggung kekerasan seksual antara laki-laki dan perempuan, tidak sesama jenis. Pun, tidak ada pasal yang mengatur keseimbangan hak dan kewajiban suami-istri. Termasuk, soal hubungan intimnya.
Oleh karena itu, pemangku kebijakan seyogianya lebih memperhatikan lagi detail RUU ini. Agar kewajiban penguasa dalam memberi rasa aman pada warganya, terkhusus anak dan perempuan, bisa terlaksana dengan baik.
Ilmi Mumtahanah
(Konawe, Sulawesi Tenggara)
[hw/LM]