Kala Remaja Tergerus Arus Kebebasan
Oleh: Kunthi Mandasari
(Pegiat Literasi)
Lensa Media News – Di tengah wabah Corona seharusnya menjadikan setiap orang semakin mendekat kepada-Nya. Namun, yang terjadi justru sebaliknya. Di Prabumulih, beredarnya foto-foto adegan asusila yang diduga dilakukan oleh sejoli yang baru lulus sekolah membuat heboh dan gempar warga. Meski begitu tidak ada tindakan dari kepolisian karena tidak ada laporan dari keluarga (okezone.com, 10/07/2020).
Sedangkan di Jambi, Rabu (8/7/2020) malam, puluhan remaja terjaring petugas di sejumlah hotel yang ada di Jambi. Dari 37 pasangan yang diamankan, ada yang hendak menggelar ulang tahun dengan pesta seks (kompas.com, 11/07/2020).
Razia juga dilakukan oleh tim gabungan dari Satpol-PP Kota Blitar, TNI dan Polri di sejumlah rumah kos yang ada di Kota Blitar, Minggu (12/7/2020). Dari hasil razia sebanyak tujuh pasangan mesum diamankan tim gabungan. Bahkan sebagian para pasangan remaja ini hanya menyewa kamar kos untuk short time (sindonews.com, 12/07/2020).
Hal senada juga terjadi di Sulawesi Selatan. Empat pasang anak baru gede (ABG ) diamankan aparat kepolisian di salah satu kamar indekos yang berada di Kecamatan Paleteang, Kabupaten Pinrang, Sulawesi Selatan pada Senin, 13 Juli 2020 siang sekitar pukul 11.00 Wita. Delapan remaja tanggung yang masih di bawah umur itu diduga sedang berbuat mesum sebelum mereka digerebek polisi (liputan6.com, 14/07/2020).
Belakangan ini, berita seperti di atas semakin kerap mewarnai layar kaca. Tidak menutup kemungkinan jumlah remaja yang terjebak tindak asusila jauh lebih mengerikan. Jelas, ini sangat mengkhawatirkan. Mereka seharusnya sedang sibuk merenda asa. Bukan terjebak pergaulan bebas yang bisa menghancurkan masa depan.
Pergaulan bebas kian mengganas sejak impor paham liberal semakin diberi ruang. Apalagi jika bisa mendatangkan keuntungan. Berbagai media gencar menyuguhkan dunia kebebasan. Sebut saja dunia perfilman, drama tv, musik maupun majalah. Dunia teknologi juga tak ketinggalan memberikan akses bebas tanpa batas. Sejumlah aplikasi baca dijadikan sarana mengeksplor pergaulan bebas. Video porno pun masih dengan mudah merajalela.
Demi sebuah keuntungan, perkembangan teknologi lepas dari pengawalan. Bahkan di jam rawan ada sinetron yang menggambarkan kecelakaan (hamil di luar nikah) akibat kebablasan. Komisi penyiaran pun meloloskan, karena dianggap sebagai salah satu sarana edukasi sex. Fakta yang justru membuat mulut kian tercekat.
Pernyataan WHO dijadikan sebuah pembenaran. Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), pendidikan seks adalah salah satu di antara beberapa cara mencegah kematian akibat aborsi tidak aman, atau aborsi ilegal.
Pegiat kebebasan juga terus gencar menyuarakan. Padahal pernyataan WHO tak lepas dari pandangan orang-orang yang berada di dalamnya. Barat beranggapan bahwa kebutuhan biologis harus disalurkan. Jika tidak, bisa menimbulkan kematian.
Jelas hal tersebut tidak terbukti kebenarannya. Faktanya, kebutuhan biologis (ghzah nau’) aaripabila tidak disalurkan hanya menyebabkan keresahan dan tidak menimbulkan kematian. Karena penyebabnya berasal dari luar tubuh. Untuk menangkalnya bisa dilakukan dengan mengalihkan perhatian dan menjauhkan segala sesuatu yang dapat merangsang perbuatan zina.
Paham sekuler yang bercokol kian memperparah terjadinya pergaulan bebas. Menjauhkan kaum muslim dari ajarannya. Apalagi dalam sistem ini perbuatan zina bukan dianggap kejahatan. Sehingga pelakunya bebas dari hukuman. Mereka hanya akan diberi arahan dan kedua orang tua dipanggil sebagai penjamin. Atau paling mentok pasangan tersebut akan segera dinikahkan. Sehingga, meskipun tertangkap tidak akan menimbulkan efek jera. Alhasil kejadian serupa terus saja berulang.
Berbeda dengan Islam yang menempatkan zina sebagai kejahatan. Maka pelakunya harus diberi sanksi. Jika belum menikah harus dicambuk seratus kali. Apabila telah menikah pelakunya dihukum rajam sampai mati. Hal ini jelas akan menimbulkan efek jera. Sehingga ketika ingin melakukan perbuatan zina akan berpikir seribu kali.
Hukuman ini hanya bisa dilakukan oleh sebuah negara. Dimana dalamnya diterapkan peraturan Islam secara menyeluruh. Namun negara juga memiliki tanggung jawab untuk menutup peluang kemaksiatan. Salah satunya menerapkan aturan dalam berinteraksi. Seperti menutup aurat, tidak bertabaruj, larangan berkhalwat ataupun ikhtilat yang tidak dibenarkan oleh syariat. Islam juga menutup segala akses yang bisa membuka peluang kemaksiatan.
Maka ketika upaya pencegahan telah dilakukan tetapi masih ada pelanggaran syariat. Para pelaku harus dijatuhi hukuman. Tidak peduli mereka masih remaja. Karena dalam Islam, baligh merupakan batas usia untuk menerima konsekuensi atas sebuah perbuatan.
Wallahua’alam bishshawab.
[ry/LM]