Covid-19 Maksimum Sebaran, Minimum Anggaran

Oleh : Sofia Ariyani, S.S
Muslimah Pegiat Literasi dan Member AMK

 

Lensa Media News – Ganasnya Covid-19 membuat negara mana pun tumbang. Aspek ekonomilah yang sangat terpukul. Membuat negara dan rakyat mati suri. Pantaslah jika seluruh negara memberlakukan “new normal“, termasuk Indonesia.

Namun sayang, pemberlakuan pelonggaran PSBB menuju new normal tidak diimbangi dengan kesadaran diri rakyat terhadap bahaya virus Corona. Pemerintah seolah tidak mau tahu akibatnya terhadap rakyat, yang penting roda perekonomian harus jalan. Rakyat hanya diedukasi untuk menjaga jarak dan memakai masker. Namun, pada faktanya imbauan-imbauan itu tidak diperhatikan. Dan benar saja, kasus Covid-19 pun melonjak tajam. Sejak pemberlakuan new normal penambahan per harinya mencapai 1000 kasus.

Meningkatnya kasus Covid-19 tidak membuat negara sadar untuk menerapkan kembali PSBB. Dan mirisnya, anggaran penanganan kesehatan tidak akan ditambah walaupun kasus bertambah.

Dilansir oleh aa.com, 4 Juli 2020, pemerintah mengatakan anggaran kesehatan untuk penanganan Covid-19 yang sebesar Rp 87,55 triliun tidak akan bertambah hingga akhir tahun walaupun kasus positif Covid-19 saat ini semakin banyak.

Staf Ahli Bidang Pengeluaran Negara Kementerian Keuangan, Kunta Wibawa Dasa Nugraha mengatakan kasus positif saat ini memang semakin tinggi karena tes yang semakin banyak, namun rasio kasus sebenarnya sama.

“Anggaran yang dialokasikan tersebut sudah mempertimbangkan perkiraan dan modeling untuk jumlah kasus hingga ratusan ribu orang yang positif Covid-19 hingga akhir tahun,” ungkapnya.

Hal ini disebabkan negara tidak memiliki anggaran yang cukup untuk menghadapi bencana besar ini. Pasalnya negara mendapat pemasukan hanya mengandalkan pajak, keuntungan BUMN, dan hibah. Dimana ketiganya bukan sumber pendapatan yang murni dimiliki negara dan dikelola negara. Akibatnya ketika terjadi permasalahan pada ketiga sumber tersebut maka negara akan kesulitan mengatasi persoalan rakyatnya.

Minimnya upaya negara dalam mengatasi persebaran Covid-19, juga dalam segala persoalan yang menimpa negara ini akibat sistem yang tidak mendukung. Sistem kapitalisme yang diterapkan negara ini hanya memprioritaskan pertumbuhan ekonomi. Bukan menyejahterakan rakyatnya. Maka wajar jika negara tidak akan menambah anggaran kesehatan walaupun kasus Covid-19 terus bertambah.

Hal ini sangat bertolak belakang dengan sistem Islam. Aturan yang ada dalam Islam untuk keberlangsungan hidup manusia bahkan alam. Maka sistem ekonominya pun dibentuk dalam rangka untuk memenuhi kebutuhan dasar seluruh rakyatnya. Dengan demikian negara bertanggung jawab atas kebutuhan dasar seluruh rakyatnya. Termasuk kesehatan, yang menjadi hak bagi seluruh warga negara.

Dalam hal anggaran negara pun, pemasukan negara Islam diambil dari fai, kharaj, sumber daya alam, dan sedekah. Dimana sumber-sumber ini akan dikelola dan didistribusikan langsung oleh negara. Individu atau pihak swasta tidak boleh menguasai sumber-sumber tersebut. Jika dikuasai oleh swasta bahkan asing maka yang akan terjadi sebagaimana hari ini. Kas negara defisit, rakyat yang merugi. Sehingga meski wabah kian meningkat, anggaran penanggulangannya tetaplah minim.

Dalam negara Islam menghadapi kondisi sulit di tengah pandemi, negara sebagai ra’in (pemelihara) akan berupaya menjaga jiwa, dan keselamatan warganya. Maka, daulah (negara) menggunakan kas negara tersebut untuk menangani kasus Covid-19. Bukan mengambil dari pajak, dan pinjaman atau utang. Niscaya penanganan pemutusan rantai Covid-19 akan mudah terlaksana.

Wallahu a’lam bishshawab.

 

[ry/LM]

Please follow and like us:

Tentang Penulis