Mengurai Paradigma Sistem Pendidikan Nasional

Oleh: Ade Farkah

(Anggota Muslimah Peduli Umat)

 

 

Lensamedianews.com— Belakangan ini, kisruh zonasi kembali terjadi. Seperti yang diwartakan oleh kompas.tv pada 27/6/20 bahwa orang tua memprotes kebijakan terkait pengedepanan kriteria usia sebagai prioritas dalam seleksi penerimaan peserta didik baru (PPDB).

 

Peristiwa itu mengundang reaksi dari sejumlah kalangan. Seperti dilakukan oleh ketua komnas perlindungan anak, Arist Merdeka Sirait. Beliau menghendaki adanya pembatalan PPDB dan meminta kepada semua pihak untuk melakukan seleksi ulang. (vivanews.com, 28/6/20)

 

Demikian juga dilakukan oleh anggota LBH Jakarta, Nelson. Agar meninjau ulang surat keputusan kepala dinas pendidikan DKI No.51 Tahun 2020. Karena dianggap tidak sesuai dengan prinsip Permendikbud No.44 Tahun 2019. (detik.com, 28/6/20)

 

Bukan tanpa alasan, sejumlah reaksi tersebut ditimbulkan dari pemberlakuan sistem zonasi dalam aturan penerimaan peserta didik baru (PPDB). Diantaranya adalah, sejumlah anak tidak dapat mengenyam pendidikan di sekolah pilihan.

 

Adanya pembatasan usia minimal membuat anak merasa putus asa. Belum lagi, kriteria lainnya yang terkesan memberatkan anak sebagai calon peserta didik. Tentu hal ini menimbulkan sejumlah permasalahan baru dalam dunia pendidikan.

 

Jika kita cermati, semua itu merupakan puncak dari fenomena gunung es atas sejumlah persoalan di dunia pendidikan. Kita bisa melihat fakta rusak di lapangan. Diantaranya, adanya sejumlah kasus bunuh diri di kalangan pelajar, penyimpangan perilaku yang dilakukan oleh anak-anak, adanya oknum pendidik yang berbuat kriminal, serta sarana dan prasarana sekolah yang tidak layak. Semuanya merupakan potret buruk dari lemahnya sistem pendidikan saat ini.

 

Untuk dapat mengurai benang kusut masalah tersebut, maka kita perlu berangkat dari paradigma pendidikan. Hal ini erat kaitannya dengan pengadopsian sekaligus penerapan ideologi di dalam sebuah negara. Selanjutnya, akan memberi corak karakter bagi sistem pendidikan.

 

Oleh karena Indonesia mengadopsi ideologi sekuler, maka paradigma pendidikannya pun mengacu pada konsep pemisahan agama dari kehidupan. Meskipun, tetap mengakui peranan agama, namun sejatinya menolak campur tangan agama dalam mengatur kehidupan. Inilah yang selanjutnya menjadi cikal bakal sistem pendidikan.

 

Alhasil, sistem pendidikan nasional diterapkan berdasarkan prinsip pemisahan agama dari kehidupan. Menjadi ciri khas dari sistem demokrasi-sekuler bahwa penentuan terhadap suatu kebijakan didasarkan pada prinsip untung rugi (asas manfaat).

 

Prinsip tersebut sangatlah relatif, bergantung dari posisi dimana seseorang atau pihak tertentu berada. Maka, sangat wajar jika permasalahan yang timbul tidak mampu diselesaikan secara tuntas. Bahkan terkesan hanya memindahkan masalah ke bidang lain. Karenanya, permasalahan cabang dalam bidang pendidikan hanya dapat diselesaikan secara tuntas jika ideologi sebagai akar masalah, sudah dibenahi.

 

Adapun Islam sebagai ideologi telah mampu menjawab segala persoalan dengan tuntas. Hingga memberikan pemecahan yang solutif terhadap permasalahan yang mungkin muncul.

 

Islam memandang bahwa pendidikan merupakan kewajiban bagi setiap orang yang telah memasuki usia baligh. Meskipun demikian, Islam menetapkan bahwa usia 7 tahun sebagai usia wajib belajar dengan tidak membatasi usia kapan akan berakhirnya.

 

Karena kewajiban itulah kemudian penyelenggaraan pendidikan dijamin oleh negara. Bahkan menjadi kewajiban negara untuk memfasilitasi terselenggaranya pendidikan bagi semua kalangan. Baik miskin maupun kaya. Anak-anak atau pun dewasa.

 

Sejarah telah menjadi saksi atas gemilangnya pendidikan di masa keemasan. Khilafah sebagai institusi Islam, mampu membangun kekuatan pendidikan umat. Seperti di Baghdad, Istanbul atau Cordova yang menjadi sentra ilmu pengetahuan dunia. Tokoh ilmuan dunia seperti Al khawarizmi, Jabir Ibnu Hayyan, Abbas Bin Farnas, Ibnu Ismail Al Jazari dll, adalah sederet ilmuan yang lahir dari sistem pendidikan Islam.

 

Bahkan jauh sebelum itu, Rasulullah Saw. membebaskan tawanannya hanya karena mereka mengajarkan ilmu (baca tulis) kepada kaum muslimin. Khalifah Umar Bin Khattab ra. yang memberikan kompensasi yang fantastis sejumlah 15 dinar (1 dinar= 4,25 gram emas). Demikianlah bukti bahwa pendidikan memiliki posisi yang sangat mulia dalam pandangan Islam.

 

Itulah mengapa kita perlu untuk menerapkan Islam. Karena sejatinya sumber permasalahan yang sekarang terjadi baik di bidang sosial politik, ekonomi, pendidikan dan bidang lainnya adalah masalah cabang, timbul dari kesalahan paradigma. Maka dibutuhkan solusi secara mendasar dan fundamental yakni ideologi Islam. Dan tentu, tiadalah ideologi ini membumi jika tidak ada institusi Islam. Wallahu a’lam bish-shawab. [RA/LM] 

Please follow and like us:

Tentang Penulis