Pendidikan Mahal, Generasi Emas hanya Impian
Oleh: Ana Frasi
Lensamedianews.com— Pandemi Corona yang berawal di Wuhan China hingga kemudian menyebar ke berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia memang menjadi momok tersendiri, dampaknya luar biasa dalam berbagai bidang kehidupan. Sulitnya penanganan akan wabah ini menimbulkan banyak kasus-kasus kematian baik kematian paramedis sebagai garda terdepan maupun masyarakat pada umumnya.
Kondisi tersebut memaksa banyak negara melakukan lockdown untuk memutus mata rantai penyebaran virus. Indonesia sendiri memberlakukan PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar). Masyarakat dianjurkan tinggal dan melakukan aktivitas pekerjaan dari rumah. Hal ini berdampak pada pemberhentian berbagai aktivitas publik, perkantoran dan pabrik-pabrik sementara tutup.
Tak terkecuali dalam dunia pendidikan, baik sekolah maupun kampus memilih untuk memberlakukan pembelajaran secara daring, tidak lagi belajar tatap muka di ruang kelas. Namun pembelajaran daring ini tidak selalu menjadi mudah bagi semua orang, kendala gagap teknologi, sampai pengadaan gadget sebagai sarana serta jaringan internet yang tak terkover di semua wilayah menjadi hambatan.
Dalam pembelajaran daring dibutuhkan biaya ekstra berupa kuota internet yang tidak sedikit dan tidak murah. Sedangkan di sisi yang lain, PSBB yang diberlakukan berimbas pada perekonomian masyarakat, mobilitas manusia yang dibatasi membuat roda ekonomi berjalan melambat, secara tidak langsung berpengaruh pada pendapatan masyarakat yang semakin menurun.
Alhasil, finansial masyarakat yang tidak stabil berdampak pula terhadap dunia pendidikan, salah satu contohnya adalah soal dana UKT (Uang Kuliah Tunggal), kesulitan keuangan selama pandemi menjadi beban para orang tua sehingga sulit membayar biaya kuliah. Lalu ramailah tuntutan kepada Kemendikbud agar ada pemotongan biaya UKT bahkan hingga digratiskan.
Tuntutan ini didasarkan pada asumsi bahwa biaya operasional penyelenggaraan pendidikan menurun dibanding kondisi normal, seperti aksi demonstrasi yang dilakukan puluhan mahasiswa Universitas Brawijaya (UB) Malang. (Okezone.com 18/06/2020).
Merespons tuntutan tersebut, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim melalui Permendikbud Nomor 25 Tahun 2020 mengeluarkan kebijakan yaitu akan memberikan keringanan UKT bagi mahasiswa PTN yang menghadapi kendala finansial selama pandemi Covid-19, bagi yang memenuhi kriteria tertentu.
Calon penerima harus dipastikan dari orangtua yang mengalami kendala finansial sehingga tak mampu membayar dan bukan mahasiswa yang sedang dibiayai oleh program KIP (Kartu Indonesia Pintar) atau beasiswa lainnya. (Kompas.com 21/06/2020).
Adanya kriteria penerima bantuan menandakan kebijakan tersebut tidak mencakup semua mahasiswa. Sungguh berbeda sekali dengan sistem pendidikan dalam Islam dimana negara menaruh perhatian dan tanggung jawab secara penuh terhadap penyelenggaraan pendidikan masyarakatnya tanpa melihat tingkatan atau strata sosial.
Pendidikan adalah hak warga negara dan bentuk kewajiban dan tanggung jawab pemerintah memfasilitasi rakyatnya untuk belajar secara gratis tanpa kecuali. Hal ini bukanlah isapan jempol belaka, berkaca pada sejarah kegemilangan Islam di masa lalu. Tersebutlah wilayah Daulah Islam bernama Samarkand. Kota yang dikenal sebagai kota pelajar pada masanya.
Tradisi keilmuan di Samarkand pada masa itu sangat luar biasa. Madrasah-madrasah dengan bangunan megah dan mewah bahkan berbalut emas ada di seantero wilayah. Maka tak heran Samarkand menghasilkan banyak ilmuwan terkemuka seperti Muhammad Addi As-Samarkandi, Muhammad ibn Mas’ud As-Samarkandi (penyusun Tafsir Al-Iyasyi), Qadi Zadah Ar-Rumi dan masih banyak lagi. Makam Imam Bukhari rahimahullah, penulis buku Hadis sahih yang paling autentik, terdapat pula di Samarkand.
Dan keadaan itu sangat kontras dengan sistem pendidikan kapitalisme yang kita jalani saat ini. Mahalnya biaya pendidikan berkualitas, prasarana dan sarana pendidikan yang minim, kurikulum pendidikan yang menihilkan agama dan bersifat materialistik adalah gambaran pendidikan kapitalisme sekuler saat ini.
Negara abai dari tanggung jawab mencetak generasi emas, pendidikan tak lebih menciptakan kelas pekerja untuk mengukuhkan hegemoni para kapitalis. Maka dampaknya sangatlah buruk, generasi sekuler boleh jadi pandai dalam sains dan skill namun jauh dari nilai-nilai kebaikan, akhlak dan kepribadian Islam.
Krisis multidimensi jelas mengkonfirmasi kegagalan sistem pendidikan ini, padahal tak bisa dipungkiri semua itu terkait dengan perilaku masyarakat yang sejatinya merupakan produk dari sistem pendidikan yang dikukuhi oleh sebuah negara. Hanya Daulah Islam dengan sistem pendidikannya mampu menjamin pendidikan berkualitas bagi seluruh rakyat secara gratis.
Menghasilkan manusia-manusia yang mumpuni dalam ilmu pengetahuan namun juga tidak mengabaikan fitrah dirinya sebagai hamba Allah yang dituntut untuk bertaqwa. Sehingga mencetak generasi emas peradaban sebagai khoiru ummah bukanlah sebuah impian. Wallahu a’lam. [RA/LM]