Terpapar Atau Lapar, Dilema Pedagang Pasar dalam Sistem Sekuler

Oleh: Dede Yulianti

 

Lensamedianews.com— Hanya dalam waktu berapa hari diberlakukannya new normal, setelah pasar kembali dibuka. Terjadi lonjakan penambahan pedagang pasar terpapar virus covid 19. Ikatan Pedagang Pasar Indonesia (Ikappi) melaporkan adanya penambahan 128 kasus pedagang pasar positif Corona dari sebelumnya yang sebanyak 573 orang menjadi 701 orang. (detikFinance.com 20/06/2020).

 

Setelah terjadi penambahan tersebut, 12 pasar di Jakarta yang terindikasi positif pedagangnya, ditutup. Sementara untuk pasar induk Keramat Jati meskipun ada 49 Pedagang positif Covid-19, pasar tetap tidak ditutup. Wali Kota Jakarta Timur M Anwar beralasan, penutupan Pasar Induk Kramat Jati dapat memengaruhi pasokan pangan di Jabodetabek. (Kompas.com 20/06/2020).

 

Buah Kebijakan Tak Tuntas

 

Bak buah simalakama, itulah yang dirasakan para pedagang pasar. Dilema antara lapar atau terpapar. Pembatasan Sosial Skala Besar (PSBB) yang diputuskan pemerintah selama tiga bulan, mau tak mau berdampak luas. Terutama pada pendapatan masyarakat. Pandemi memang harus dihindari penyebarannya, jika tidak bersiap menghadapi ancaman kesehatan yang serius. Namun, PSBB bagi pedagang yang penghasilannya harian, tentu berakibat lain. Lapar mengancam perut keluarga mereka.

 

Semestinya tak perlu terjadi dilema, jika saja pemerintah fokus dan serius mengatasi penyebaran wabah ini. Memperketat pembatasan sosial sampai kurva penyebaran wabah menurun. Hingga wabah dipastikan tak ada lagi. Namun alih-alih diperketat, di saat jumlah positif corona masih naik, pemerintah justru mengeluarkan kebijakan ‘new normal.’ Masyarakat diminta berdamai dengan virus. Pasar, pusat perbelanjaan, tempat wisata kembali dibuka, meskipun dengan protokol kesehatan. Hanya sekolah yang kembali ditunda. Alhasil, jumlah penyebaran wabah per hari justru semakin melonjak. Tak heran jika pasar akhirnya menjadi klaster baru penyebaran virus.

 

Inilah buah dari kebijakan yang tak tuntas. Aturan sekular kapitalistik yang lebih memprioritaskan ekonomi dibandingkan nyawa manusia. Mengalahkan nilai-nilai kemanusiaan. Pemerintah seakan menyerah dalam mengatasi wabah, sekaligus tak sanggup memenuhi kebutuhan hidup rakyat selama pembatasan. Maka saat pemerintah memberlakukan kebijakan ‘new normal,’ para pedagang seakan mendapat angin segar. Demi menghilangkan lapar, mengambil risiko terpapar. Akhirnya memaksakan diri bekerja, berdagang ke pasar menghadapi ancaman terpapar wabah.

 

Islam Mengatasi Masalah Tanpa Masalah

 

Islam begitu sempurna memelihara kehidupan manusia. Bersumber dari Wahyu Allah Swt. yang dipraktekkan dalam kehidupan Rasulullah Saw. di Madinah, kemudian berlangsung hingga 14 abad lamanya. Aturannya tak lahir dari akal manusia yang sarat dengan kepentingan materi semata.

 

Syariat Islam nan mulia telah terbukti menjaga setiap nyawa manusia dengan berbagai aturannya yang komprehensif. Tegas Rasulullah Saw menyatakan, “Hilangnya dunia, lebih ringan bagi Allah dibandingnya terbunuhnya seorang mukmin tanpa hak.” (HR. Nasai).

 

Maka menghadapi dilema antara terpapar wabah atau terkapar lapar, keduanya dituntaskan sekaligus oleh syariat Islam. Hal ini pernah terjadi di masa Khalifah Umar bin Khattab. Wabah thoun dan kelaparan. Saat wabah melanda, fokus Khalifah adalah memisahkan wilayah yang penduduknya terkena wabah dengan yang sehat. Jika dikaitkan dengan fakta saat ini, maka harus ada tes kesehatan gratis untuk warga, sehingga terdata jelas mana yang sehat dan terpapar virus. Untuk yang sehat dibiarkan beraktivitas seperti biasa.

 

Kemudian untuk yang terbukti terpapar memberlakukan karantina total pada zona merah. Sebagaimana kebijakan Amr bin Ash yang memimpin kota Syam saat itu. “Sesungguhnya penyakit ini sifatnya seperti api yang membakar dan Kalian adalah kayu bakarnya. Maka berpencarlah Kalian ke gunung-gunung, dan jangan berkumpul satu sama lain, sehingga api ini tak menemukan kayu bakar, dan menjadi padam.”

 

Maka, pasar sebagai tempat berkumpulnya manusia untuk berjual beli harus dipastikan hanya terbuka di wilayah aman. Lalu bagaimana dengan warga yang diisolasi untuk memenuhi kebutuhan mereka. Kholifah Umar mengirimkan langsung kepada warganya yang kelaparan saat itu, setiap kebutuhan mereka. Jaminan kebutuhan inilah yang tidak ada dalam sistem sekular. Semuanya serba pertimbangan untung rugi. Subsidi dan layanan kebutuhan warga cuma-cuma dianggap beban.

 

Begitulah penuntasan persoalan wabah dalam Islam, tak menimbulkan masalah apalagi dilema. Sebab syariat Islam memandang negara adalah periayah seluruh urusan rakyat. Sistem yang melahirkan sosok pemimpin yang memiliki rasa takut kepada Rabbnya. Sadar ketika satu saja perut terabaikan, akan menuntutnya kelak di akhirat. Tak heran dalam Islam pemimpin begitu mencintai warganya, begitupun sebaliknya. Oleh karena itu sudah selayaknya kita kembali pada aturan Allah Swt agar keluar dari berbagai persoalan dilematis yang membelit. Wallahua’lam. [LM] 

Please follow and like us:

Tentang Penulis