Tapera, Bukti Kesejahteraan Rakyat atau Abainya Negara? 

Oleh: Ade Farkah

(Anggota Forum Muslimah Peduli Umat) 

 

Lensa Media News – Rakyat kini lebih sering menghela nafas. Kesempitan hidup terasa makin mencekik. Berbulan-bulan lamanya, diterpa pandemi Covid-19. Wajar, jika terasa kehabisan daya untuk memperjuangkan kehidupannya.

Dilansir oleh Kompas 14 Mei lalu, rakyat dikejutkan dengan kenaikan iuran kesehan BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial). Padahal awalnya telah dibatalkan oleh Mahkamah Agung. Menyusul pada 6 Juni, Pikiran Rakyat memberitakan bahwa listrik melonjak akibat WFH (Work From Home). Tak hanya itu, harga BBM (Bahan Bakar Minyak) bergeming, saat  harga minyak dunia turun. 

Pada 2 Juni, rakyat bertambah merana. Ketika Kompas mengabarkan, pemerintah kembali membuat kebijakan “pungutan” terhadap rakyat. Peraturan pemerintah Nomor 25 Tahun 2020 disahkan. Berisi seputar penyelenggaraan Tapera. Kebijakan ini, digadang-gadang sebagai solusi atas pembiayaan jangka panjang kepemilikan rumah di Indonesia. Benarkah demikian? 

Tapera kepanjangan dari tabungan perumahan rakyat. Pembiayaannya dilakukan melalui mekanisme pemotongan upah pekerja baik di sektor negeri maupun swasta. Pemotongan gaji sebesar 3%, dengan komposisi 2,5% dipotong langsung dari gaji pekerja, sedangkan 0,5% ditanggung  pengusaha atau pemberi kerja. Namun tidak semua peserta dapat menikmati hasil yang sama, karena ada kriteria khusus yang harus dipenuhi. (cnbcindonesia.com, 8/6/2020)

Alih-alih mendatangkan kesejahteraan, pungutan Tapera malah menjadi bukti abainya negara. Karena faktanya rakyat dipaksa harus memenuhi sendiri semua kebutuhan hidupnya. Baik sandang, pangan, termasuk papan. Tidak ada jaminan hunian dari negara, yang ada malah menjadikannya peluang bisnis. Tapera akan menjadi lahan basah, mengingat rentang waktunya sangat panjang. Dana rakyat mengendap sampai puluhan tahun. Siapa yang tidak hijau mata, dibuatnya? 

Inilah salah satu bukti, bahwa negara sedang menerapkan sekularisme-kapitalistik. Sistem yang menihilkan campur tangan negara dalam pemenuhan kebutuhan hidup rakyat. Semua ditakar sebatas untung rugi. Tidak ada spirit keimanan di dalamnya. Negara hanya sebagai regulator, bukan menjadi “ibu” penyayang dan pengayom. 

Sebagai umat Islam, kita perlu melakukan introspeksi. Sejatinya, badai kesempitan hidup selama ini merupakan buah tingkah laku kita sendiri. Sebagian besar dari kita memilih diam dan bungkam ketika aturan Allah Swt. tidak seutuhnya diterapkan, terutama dalam kehidupan bernegara. Padahal kita yakin akan kesempurnaan Islam termasuk aturan di dalamnya. Bahwa Islam merupakan sistem kehidupan, panduan dalam sagala bidang. 

Allah berfirman dalam QS. Thaha: 124, bahwa Allah akan memberikan penghidupan yang sempit lantaran kita enggan untuk mengikuti aturan-Nya. Maka kuncinya ada pada kita. Jika benarlah Islam yang kita peluk, maka mengapa kita justru selingkuh bersama sistem hidup yang lain. Tidakkah itu cukup menjadi alasan bagi kemurkaan Allah. Naudzubillah min dzalik. 

Jika ada yang bertanya, apakah Islam mengatur masalah hunian, maka sudah tentu jawabannya “iya”. Hunian dipandang sebagai sebuah kebutuhan pokok. Wajib bagi negara memastikan pemenuhannya. Siapa juga yang mampu bertahan diterpa terik dan hujan berkepanjangan?

Mekanisme terkait papan, berpijak pada satu prinsip utama. Kesadaran peran pemimpin sebagai raa’in atau pengurus kebutuhan warga, baik kebutuhan sandang, pangan, papan, juga jaminan keamanan, kesehatan dan pendidikan. 

Dari sini, seorang pemimpin sadar, bukan untung rugi yang dikejar. Tapi ada pertanggungjawaban secara ruhiyah. Dan ini hanya terjadi tatkala paradigma berpikir ala sekuler, diputihkan dengan standar Islam. Pemimpin mengayomi rakyat sebagai bentuk penunaian tugas kehambaannya. Bukan sekadar humanis, moralitas, ataupun pencitraan. Melainkan sebagai bentuk pengabdian kepada Allah Swt. 

Maka sudah saatnya kita hentikan badai yang kita undang sendiri ini, dengan kembali pada solusi Islam. Menerapkan aturan Allah Swt., dalam kehidupan individu, bermasyarakat dan bernegara sudah tidak bisa lagi ditawar-tawar ataupun ditunda-tunda.

Hanya dengan bersandar pada syariat (ketetapan Allah Swt.) sajalah, kesejahteraan akan dirasakan oleh seluruh rakyat tanpa kecuali. Hunian tidak akan menjadi masalah. Selamanya dalam sistem Islam, Tapera dan pungutan semacamnya tidak akan pernah ada. 

Waallahu a’lam bish-shawab.

 

[ra/LM] 

Please follow and like us:

Tentang Penulis