Komitmen Menulis (Part 1)
Oleh: Hasni Tagili
#Rabu Bersama Cikgu 07
Mengambil amanah adalah kemuliaan. Melalaikan amanah adalah kemaksiatan. Amanah tanpa riayah adalah kezaliman
(Anonim)
Seorang pengemban dakwah insyaallah sudah tidak asing lagi dengan kutipan ini. Ya, bagi saya pribadi, inilah pengingat diri. Penguat akad dalam mengarungi amanah dakwah.
Kok bisa?
📝 Mengambil amanah adalah kemuliaan. Ada unsur fastaabiqul khairat dalam kalimat ini. Tatkala kita mampu, tapi kita tidak mau, maka kelak Allah akan mintai kita pertanggungjawaban. Jadi, ambillah amanah selagi bisa.
📝 Melalaikan amanah adalah kemaksiatan. Dalam kalimat ini ada peringatan bahwa begitu mudah bersekutu dengan setan dalam kemaksiatan. Sisa melalaikan apa yang diamanahkan kepada kita. Sisa menciptakan beribu alasan agar amanah tak jalan. Astaghfirullah. Semoga Allah menjauhkan kita dari berbuat demikian. Aamiin.
📝 Amanah tanpa riayah adalah kezaliman. Kalimat ini mengisyaratkan sinergitas. Harus ada kesinambungan antar hubungan dalam tim menulis.
Misal, dalam suatu wadah menulis, teman-teman menunjuk seseorang untuk jadi ketua tim. Maka, hubungan timbal balik akan mutlak terjadi. Ketua memberi amanah dan anggota menjalankan amanah tersebut. Tidak hanya itu, ketua perlu mengarahkan anggotanya tatkala amanah tadi mengalami kendala. Kenapa? Karena hanya akan jadi kezaliman ketika ketua tahunya hanya menyuruh saja tanpa memberi contoh atau teladan.
Pun, member perlu ditegur tatkala ketua sudah memberi solusi tapi si anggota masih nihil aksi. Belum mencoba sudah menyerah. Inilah yang saya maksudkan di kalimat kedua tadi. Melalaikan amanah. Semoga teman-teman yang membaca tulisan ini tidak berbuat demikian.
Sehingga, berangkat dari mindset ini, coba kita saling jujur pada diri sendiri.
“Sudah optimalkah saya selama ini dalam jalan dakwah aksara?”
“Kalau belum optimal, apa sebabnya?”
“Bagaimana sinergitas saya dengan tim?”
Saya konsentrasi di kalimat ketiga ya. Sebab, kita bicara amanah skala berjamaah. Sehingga, ini bukan hanya sekadar talk about you, but talk about us 😊
Oh iya, pernah dengar kisah tentang bughats?
Bughats ini adalah anak burung gagak yang baru menetas. Burung gagak ketika mengerami telurnya akan menetas mengeluarkan anak yang disebut bughats. Ketika sudah besar si bughats ini berubah menjadi ghurab (gagak dewasa).
Telah terbukti secara ilmiah, anak burung gagak ketika baru menetas warnanya bukan hitam seperti induknya, karena ia lahir tanpa bulu. Kulitnya berwarna putih. Saat induknya menyaksikannya, ia tidak terima itu anaknya, hingga ia tidak mau memberi makan dan minum, lalu hanya mengintainya dari kejauhan saja.
Anak burung kecil malang yang baru menetas dari telur itu tidak mempunyai kemampuan untuk banyak bergerak, apalagi untuk terbang.
Lalu bagaimana ia makan dan minum? Allah Yang Maha Pemberi Rezeki yang menanggung rezekinya, karena Dialah yang telah menciptakannya. Allah menciptakan aroma tertentu yang keluar dari tubuh anak gagak tersebut sehingga mengundang datangnya serangga ke sarangnya. Lalu berbagai macam ulat dan serangga berdatangan sesuai dengan kebutuhan anak gagak dan ia pun memakannya.
Keadaannya terus seperti itu sampai warnanya berubah menjadi hitam, karena bulunya sudah tumbuh. Ketika itu barulah gagak mengetahui itu anaknya dan ia pun mau memberinya makan sehingga tumbuh dewasa untuk bisa terbang mencari makan sendiri.
Lambat laun, secara otomatis, aroma yang keluar dari tubuh anak gagak pun hilang dan serangga tidak berdatangan lagi ke sarangnya.
Ibrah yang paling menonjol dari kisah ini adalah konsep rezeki. Ar-rizku minallah.
Tapi di sini saya tidak menyoroti itu. Sudut lain yang bisa digali dari kisah ini, jika dihubungkan dengan amanah menulis, adalah jangan sampai seorang ketua bersikap seperti induk gagak tadi.
Deg!
Yup, jangan sampai ketua hanya kasih amanah menulis opini, misalnya. Tetapi, tidak mengajari bagaimana caranya menulis opini. “Cari tahu saja sendiri. Di luar sana kan banyak komunitas untuk belajar.” Ini ibaratnya disuruh nyari makan sendiri.
Maksud saya, meski si anggota mencari ilmu menulis di komunitas-komunitas, ketua tetap harus aktif membersamai proses belajarnya.
Misal, di awal perekrutan, ketua seyogianya mengadakan pelatihan. Meski dalam versi sederhana dan singkat. Minimal si anggota ada gambaran.
Selain itu, ketika si anggota setor tulisan, ketua memberi saran sebagai bentuk feedback. Jadi member bisa belajar dari situ. Supaya kesalahan teknis yang sama tidak terulang kembali.
Pun, ketika kita berada di posisi member, harus tahu diri apa amanah kita. Jika sudah komitmen menulis 2-3 opini per bulan, maka jalani itu dengan ikhlas. Nggak perlu diteror ketua tim dulu baru setor 🤭
Sehingga, memang harus ada sinergitas antara ketua tim dan anggota. Sebab, hubungan yang dibangun adalah hubungan mitra/partner, bukan hubungan antasan-bawahan atau majikan-pembantu.
Hm, berat ya jadi ketua?
Berat ya jadi member?
Insyaallah tidak akan berat kalau amanah itu teman-teman jalani dengan hati lapang.
Seperti apa model hati lapang? Apa koneksinya dengan pemecahan masalah dalam tim? Insyaallah akan saya bahas di Komitmen Menulis (Part 2). Don’t miss it! 😁✌️
[LM]