New Normal di Tengah Wabah Belum Melandai

Oleh : Citrawan Fitri, S.Mat., M.Pd

(Pemerhati Sosial, Moramo, Sulawesi Tenggara)

 

Lensa Media News – New normal kembali digaungkan di tengah pandemi virus corona yang kian meluas dan menginfeksi jutaan orang di dunia, termasuk di Indonesia. Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengajak masyarakat untuk bisa hidup berdamai dan berdampingan dengan Covid-19.

Presiden juga menyebutkan persiapan menuju pola hidup normal baru telah disiapkan di 25 kabupaten/kota di empat provinsi. Penerapan kenormalan baru itu dapat diperluas jika kemudian dianggap efektif membuat masyarakat produktif dan tetap aman di masa pandemi Covid-19. Persiapan dilakukan dengan menerjunkan personel TNI/Polri di tempat umum atau keramaian. (kompas.com, 28/05)

Dalam keterangannya, Jokowi sempat memuji kota Bekasi yang telah menekan penularan virus corona, yang ditunjukkan oleh kurva R0 di bawah angka 1. Jokowi berharap konsep new normal tetap memperhatikan angka penularan virus corona.

Namun di balik kebijakan new normal tersebut, pemerintah menuai banyak kontra di tengah-tengah masyarakat. Pasalnya, kebijakan tersebut tidak tepat diterapkan saat wabah belum melandai, bahkan kian hari menunjukkan jumlah kasus positif yang begitu signifikan hingga nyaris menembus angka 1000 kasus per harinya.

Anggota Komisi IX DPR dari Fraksi PKS, Netty Prasetiyani menilai Indonesia belum memenangkan perang melawan wabah virus corona. Menurutnya, ada indikator ilmiah yang mesti dipatuhi apabila pemerintah hendak menerapkan new normal. Misalnya, jumlah kasus telah berkurang, bahkan nol. Kemudian, peningkatan kapasitas tes massal, hingga pembatasan ketat demi mencegah penyebaran Covid-19. (kompas.com, 28/05)

Pernyataan tegas juga datang dari Dewan Pakar Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) Dr. Hermawan Saputra mengkritik persiapan pemerintah menjalankan kehidupan new normal. Menurut dia belum saatnya, karena temuan kasus baru terus meningkat dari hari ke hari. https://www.merdeka.com (25/05)

New normal merupakan sesuatu yang akan dihadapi. Namun, berbincang mengenai new normal ini ternyata banyak prasyaratnya.

Pertama, syaratnya harus sudah terjadi perlambatan kasus. Kedua, sudah dilakukan optimalisasi PSBB. Ketiga, masyarakatnya sudah lebih memawas diri dan meningkatkan daya tahan tubuh masing-masing. Keempat, pemerintah sudah betul-betul memperhatikan infrastruktur pendukung untuk  new normal.

Namun pada kenyataannya syarat tersebut belum terpenuhi, bahkan puncak pandemi belum dilewati sedangkan kasus cenderung naik. Akibatnya, prediksi-prediksi yang mengatakan puncak pandemi pada awal Juni akan mundur hingga akhir Juni maupun awal Juli.

Maka wajar jika masyarakat menilai pemerintah tergesa-gesa dalam menyusun persiapan menuju new normal atau kenormalan dan terlalu awal di saat upaya penanganan Covid-19 belum juga menunjukkan tanda-tanda menggembirakan.

Kebijakan new normal dari pemerintah seolah-olah memberitakan bahwa negara ini sudah benar-benar siap menghadapi tantangan berikutnya, termasuk peluang gelombang kedua corona. Padahal, di ronde awal saja sudah babak belur begini. Pemerintah selaku pejabat dengan pengamanan berlapis mungkin tidak merasakan, tapi rakyat dan para tenaga kesehatan (nakes) adalah pihak yang berjibaku langsung dengan penyebaran Covid-19. Maka wacana dan tindakan normal baru semacam ini justru tidak normal di tengah kurva wabah yang belum melandai.

Jadi dapat dipastikan hingga saat ini belum ada titik terang bahwa kebijakan yang dikeluarkan adalah semata-mata bentuk periayahan dari pemerintah, melainkan memberi ruang kepada masyarakat untuk menghadapi tantangan berikutnya di tengah himpatan ekonomi yang semakin merajalela di kalangan menengah ke bawah. Potret ini akan semakin nyata selama negeri ini masih bernaung di bawah sistem demokrasi-kapitalisme-neoliberal.

Berbeda dengan Islam yang begitu sempurna dalam konsepnya. Bahwa Islam sangat menghargai dan menjaga satu nyawa, apatah lagi ribuan nyawa. Jangan menunda atau bahkan menunggu hingga angka melonjak sekian dan sekian.

Khilafah menangani pandemi berdasarkan ajaran Nabi ﷺ. Khilafah menerapkan karantina wilayah (lockdown) bagi kawasan zona merah. Melakukan proses isolasi serta pengobatan dan perawatan terbaik bagi yang sakit, sampai mereka sembuh. Serta menjamin warga yang sehat agar tetap sehat dan jangan sampai tertular wabah.

Jadi apa pun kebijakannya, aturan Islam melalui sistem khilafah akan berupaya semaksimal mungkin agar angka korban tidak bertambah. Karena bagi khilafah, satu saja sumber daya manusia yang menjadi warganya, adalah aset yang harus dipertanggungjawabkan pengurusannya oleh penguasa di hadapan Allah Swt. di akhirat kelak.

Maka saat ini yang dibutuhkan oleh masyarakat yaitu pemimpin yang benar-benar amanah dalam mengurusi mereka terkhusus untuk menangani pandemi Covid-19 dengan sebaik-baiknya agar bumi ini segera sembuh seperti sediakala. Dan pemimpin tersebut hanya akan lahir dalam sistem Islam di bawah naungan khilafah.

Wallahu a’lam bishshawab

 

[el/LM]

Please follow and like us:

Tentang Penulis