Pemimpin Amanah Anti Inkonsistensi Kebijakan
Oleh: Ulfah Sari Sakti, S.Pi
(Jurnalis Muslimah Kendari)
Lensa Media News – Kebijakan yang diambil pemerintah untuk memutus mata rantai penularan Covid-19 dinilai masyarakat terkesan inkonsistensi, misalnya kebijakan tentang penutupan sementara moda transportasi. Saat ini Menteri Perhubungan, Budi Karya Sumadi merestui kembali beroperasinya seluruh moda transportasi sejak 7 Mei 2020 melalui Peraturan Menteri Perhubungan No 25 Tahun 2020 tentang Pengendalian Transportasi Selama Musim Mudik Idul Fitri 1441 H dan berlaku Surat Edaran (SE) No 4 Tahun 2020 tentang Kriteria Pembatasan Perjalanan Orang Dalam Rangka Percepatan Penanganan Covid-19 dari Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19.
Para penumpang harus membawa dokumen yang diverifikasi sebagai syarat agar calon penumpang dapat memproses check in, antara lain tiket penerbangan, surat keterangan dinas, surat bebas Covid-19 dan dokumen lainnya seperti tertera dalam SE No 4 Tahun 2020.
Juru Bicara Kemenhub, Adita Irawati mengatakan, Kemenhub pasti mengevaluasi setiap kebijakan yang dikeluarkan. Evaluasi dilakukan bersama dengan Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 secara berkala. “Untuk saat ini kita fokus pada proses implementasi di lapangan sehingga protokol kesehatan dapat terus dijaga,” kata Adita. (Liputan6.com/16/5/2020).
Kebijakan pemerintah yang tak konsekuen seperti pelonggaran aturan bepergian dan parsial alias per daerah dinilai bisa menyebabkan munculnya gelombang kedua atau second wave Virus Corona di Indonesia.
“Secara kebijakan tidak konsekuen sekarang ini, mudah-mudahan masyarakat kita yang lebih disiplin dan mawas diri. Seperti misalnya pelarangan mudik, tapi ternyata ada pelonggaran, Ini kan bertolak belakang” ujar Epidemilog Universitas Indonesia (UI), Hermawan Saputra.
Selain itu, faktor lain pemicu gelombang kedua adalah pengelolaan kebijakan dan aturan yang parsial. Misalnya kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang hanya diberlakukan di beberapa daerah. Apalagi. Jika tidak ada aturan ketat hilir mudik warga di perbatasan. “Sehingga kita tidak bisa menyalahkan masyarakat, artinya memang penerapan PSBB dan pembatasan ketat transportasi itu lebih baik,” jelasnya.
Jika Pandemi Covid-19 masih terus berlangsung hingga munculnya gelombang kedua, Lisman Manurung (Pengamat Kebijakan Publik) menyebut pemerintah dan masyarakat harus bersiap beradaptasi sehingga tercipta kondisi normal baru atau new normal. “Di gelombang kedua kita harus mengubah paradigma, mulai beradaptasi dengan Covid-19 sehingga menciptakan kehidupan normal baru,” ucap dia (CNNIndonesia/16/5/2020).
Pemimpin Islam Konsisten dalam Perkataan dan Perbuatan
Pemimpin pada sistem Islam sangat berbeda dengan pemimpin dalam sistem Kapitalis Sekuler, salah satu perbedaannya yaitu pemimpin dalam sistem Islam amanah dalam mengemban tugas dan tanggung jawab atau dengan kata lain konsisten dalam mengambil kebijakan. Seperti yang ditunjukan pemimpin Islam (khalifah) misalnya Khulafaur Rasyidin.
Khulafaur Rasyidin menjalankan sabda Rasulullah saw, ” Pemimpin itu adalah perisai dalam memerangi musuh rakyatnya dan melindungi mereka. Jika pemimpin itu mengajak rakyatnya kepada ketakwan kepada Allah dan bersikap adil, pemimpin itu bermanfaat bagi rakyat, tetapi jika dia memerintahkan selain itu, pemimpin tersebut merupakan musibah bagi rakyatnya” (HR Muslim).
Para pemimpin pada sistem Islam tidak akan mungkin bersikap inkonsistensi yang dapat membawa kemudharatan bagi rakyatnya, karena mereka takut akan azab Allah swt. Seperti sabda Rasulullah saw, ” Sungguh jabatan ini adalah amanah. Pada hari kiamat nanti, jabatan itu akan menjadi kehinaan dan penyesalan, kecuali bagi orang yang mengambil jabatan itu dengan hak dan menunaikan amanah yang menjadi kewajibannya” (HR Muslim).
Rasulullah saw juga bersabda, ” Siapa pun yang diangkat memegang tampuk kepemimpinan atas rakyat, lalu dia menipu mereka, maka dia masuk neraka” (HR Ahmad).
Para pemimpin pada sistem Islam konsisten menjalankan kebijakan yang diambil karena kebijakan tersebut selalu berlandaskan hukum syara yaitu khitbah syar’i (seruan Allah sebagai pembuat hukum) yang berkaitan dengan amal perbuatan hamba (manusia), baik itu ketetapan yang sumbernya pasti (qath’i tsubut) seperti AlQuran dan Hadits mutawatir, maupun ketetapan yang sumbernya masih dugaan kuat (zhani tsubut) seperti hadits yang bukan tergolong mutawatir.
Mengetahui perbedaan pola kepimpinan penguasa muslim pada sistem Kapitallis-Sekuler seperti saat ini dengan pada sistem Islam, masihkah membuat masyarakat mempertahankan sistem yang sampai hari ini belum mampu membawa solusi dalam penanganan Covid-19? Semoga saja masyarakat cepat tersadar dan sistem Islam kembali tegak, sehingga permasalahn Covid-19 ini segera tertangani.
Wallahu’alam bishowab.
[ry/LM]