Dongkrak Pajak, Minuman Berpemanis Jadi Sasaran Demi Kesehatan
Oleh: Eni Mu’ta S.Si
(Pendidik, Member Revowriter)
LensaMediaNews – Pemerintah kian gencar memburu pajak. Semua aspek dipungut pajak, nyaris tanpa cela. Dari barang mewah hingga barang recehan yang banyak dijual di pinggir jalan. Minuman berpemanis yang banyak digemari rakyat kini akan dikenai pajak. Menteri Keuangan Sri Mulyani terobsesi mengendalikan diabetes dengan pembatasan konsumsi minuman berpemanis melalui cara menarik cukai dari minuman tersebut.
Tentu saja hal itu akan memicu kenaikan harga. Setidaknya dengan meningkatnya harga, masyarakat bakal pikir-pikir untuk mengonsumsi minuman berpemanis. Menurut Sri Mulyani selain untuk meningkatkan pendapatan negara, rencana ini berdampak baik bagi kesehatan.
Sikap pemerintah memburu pajak ini sejalan dengan rekomendasi yang diberikan IMF. Dalam laporannya bertajuk Article IV Consultation tahun 2019, IMF merekomendasikan Indonesia untuk memperluas basis pajak yang sudah berlaku dan menetapkan kebijakan untuk meningkatkan tarif pajak atau mengenakan tarif pajak baru untuk meningkatkan penerimaan (rmol.id, 13/8/2019).
Oleh karena itu, Sri Mulyani berpikir keras dan bergerak cepat mencari peluang komoditas apa yang potensinya besar jika dikenai pajak. Jatuhlah pada produk yang digemari rakyat. Rencananya ada 3 kategori produk minuman yang dikenai cukai, diantaranya: Teh Kemasan. Tarif cukainya Rp 1.500/liter. Potensi penerimaan cukainya adalah Rp 2,7 triliun.
Minuman berkarbonasi. Tarif cukainya Rp 2.500/liter. Potensi penerimaan cukainya adalah Rp 1,7 triliun. Minuman lainnya (energy drink, kopi konsentrat, dll). Tarif cukainya Rp 2.500/liter. Potensi penerimaan cukainya adalah Rp 1,85 triliun. Jadi bila ditotal, potensi penerimaan negara dari pengenaan cukai pada minuman berpemanis ini adalah Rp 6,25 triliun. Tentu saja hal ini tak boleh dilewatkan begitu saja (cnbcindonesia.com, 19/2/2020).
Menurut Ketua Umum Gabungan Industri Makanan dan Minuman Indonesia (Gapmmi) Adhi Lukman, bila cukai benar-benar berlaku bagi minuman berpemanis, maka yang kena dampak adalah konsumen. Adhi bilang Gapmmi pernah lakukan kajian bahwa pengenaan cukai akan menaikkan harga dan akhirnya menurunkan daya beli masyarakat.
Selain itu, pada dasarnya belum ada data yg menunjukkan pengenaan cukai bisa menurunkan PTM (penyakit tidak menular) dan obesitas, kalau memang tujuannya mengatasi PTM dan obesitas, tegas Adhi (cnbcindonesia.com, 19/2/2020).
Lagi-lagi rakyat yang jadi korban. Pemerintah tak sungguh-sungguh menjaga kesehatan rakyat. Tapi justru menjadikan hidupnya semakin melarat dengan berbagai tarikan pajak, harga barang meningkat, sedang pendapatan terus berkurang.
Hal ini menunjukkan rezim semakin kapitalis. Berorientasi menambah pendapatan pajak tapi mencekik rakyat. Pasalnya dengan cukai minuman berpemanis, harganya bisa menjadi mahal, daya beli menurun dan pendapatan pedagang asongan terancam berkurang bahkan hilang.
Pajak memang salah satu sumber pendapatan negara, tapi tak seharusnya dijadikan sebagai sumber utama. Karena masih banyak kekayaan negara ini jika diolah dengan benar mampu menjadi sumber pendapatan.
Jika pajak dijadikan sumber utama, berarti rakyat membiayai sendiri kebutuhannya. Negara bak developer yang mengumpulkan uang rakyat lewat pajak, dan mengaku sudah mengurusi rakyat. Hal ini wajar terjadi karena paradigma ekonomi kapitalis yang dijadikan sandaran.
Sistem kapitalis menjadikan pajak sebagai fungsi budgeter dan fungsi regulator. Sehingga setiap tahun pasti terjadi target peningkatan pajak baik secara jumlah maupun jenisnya. Lihat saja APBN dari tahun ke tahun anggaran terbesar berpangku pada pajak. Hal ini jelas berbeda dengan sistem Islam.
Pajak dalam sistem Islam bukan sumber utama pendapatan. Pajak hanya dipungut ketika kas negara kosong sedangkan kebutuhan rakyat mendesak segera dipenuhi. Pajak tidak dipungut secara permanen, hanya dalam jangka waktu tertentu saja. Pun yang dipungut hanya orang-orang muslim yang kaya saja.
Sistem Islam memiliki sumber pendapatan yang jelas dan tak membebani rakyat. Secara garis besar ada empat kelompok sumber pendapatan negara. Pertama, dari pengelolaan sumber daya alam milik umum. Diantaranya hasil dari pengelolaan air, hutan, sumber energi, barang tambang, dan tanah-tanah umum.
Kedua, sumber pendapatan dari fai’, kharaj, ghanimah, jizyah dan lain sebagainya yang merupakan harta milik negara. Ketiga, harta zakat. Keempat, sumber pendapatan temporal, seperti infak, wakaf, shodaqoh dan lain sebagainya.
Semua dikelola sesuai aturan Islam. Hasilnya, keuangan negara mampu mewujudkan kesejahteraan bagi rakyat, baik muslim maupun non muslim tanpa harus menarik pajak dari mereka.
Walllahu ‘alam bish showab.
[ry/LM]