Antara Toleransi dan Kekerasan

Oleh: Hikmah, S.Pd

(Pemerhati pendidikan dan generasi – Guru SMPN 2 Astambul)

 

 

LensaMediaNews— “Berbeda-beda tetapi tetap satu jua” adalah semboyan bangsa Indonesia dan yang menjadi salah satu pilar bernegara di negeri kita tercinta ini. Tetapi apakah pilar ini sudah mampu menjaga bangsa ini dari perpecahan dan perselisihan. Sebagaimana yang diberitakan oleh berbagai media salah satunya oleh INDOPOLITIKA.COM “Aksi perusakan terhadap Masjid Al Hidayah yang berada di Perum Agape, Kelurahan Tumaluntung, Kecamatan Kauditan, Kabupaten Minahasa Utara, Provinsi Sulawesi Utara (Sulut), memicu reaksi keras umat Islam tak hanya di Sulut, tapi juga umat Islam di Poso Sulawesi Tengah dan beberapa kota lainnya di Sulawesi”.(Indopolitika.com, 31/01/2020)

 

Fakta tersebut hanyalah salah satu berita yang muncul kepermukaan, yang perlu dicermati apakah permasalahan-permasalahan ini sudah terselesaikan dengan tuntas. Seandainya sudah tuntas, tidak akan muncul lagi permasalahan yang serupa secara berulang-ulang. Harusnya kejadian-kejadian itu juga membuat kita semakin berpikir keras untuk mencari akar masalah yang sebenarnya sehingga akan didapatkan solusi yang mampu menyelesaikannya secara tuntas.

 

Sejak Rasulullah hijrah ke Madinah dan mendirikan Daulah Islam yang langsung dipimpin oleh beliau tidak pernah terjadi permasalahan yang berkaitan dengan penistaan terhadap Islam maupun ajarannya secara berulang-ulang. Pernah terjadi ada yang mengaku sebagai nabi baru setelah nabi Muhammad. Ketika orang tersebut tidak mau bertaubat langsung dihukum bunuh sehingga tidak ada lagi yang berani mengaku-ngaku sebagai nabi lagi. Islam melarang memaksa manusia yang sudah beragama untuk masuk Islam. Kaum muslimin dilarang mengikuti ibadah di luar ajaran Islam dan juga dilarang mengganggu orang lain dalam beribadah.

 

Inilah ketentuan syariat yang berhubungan dengan toleransi. Adapun dalam kaitannya dengan tindak kekerasan, Islam telah menggariskan ketentuan-ketentuan sebagai berikut.

 

Tindakan kekerasan di dalam Islam bukanlah sesuatu yang tercela atau harus dihindari, asalkan sebab dan syaratnya telah dipenuhi. Tindakan kekerasan seperti jihad, pemukulan edukatif, qishash, dan lain sebagainya, dilakukan secara selektif, tidak sembarangan dan asal-asalan.

 

Misalnya, ketika negeri Islam diinvasi tentara-tentara kafir, kaum muslim diperintahkan mengangkat senjata mengusir mereka. Begitu pula tatkala penguasa (Khalifah) telah menampakkan kekufuran nyata, seperti mengubah sendi-sendi Islam, menerapkan hukum kufur, dan lain sebagainya, maka kaum Muslim diperintahkan menggulingkan khalifah dan mengangkat senjata melawan mereka jika mampu dan tidak menimbulkan fitnah yang lebih besar.

 

Atau ketika seorang istri melakukan pembangkangan, seorang suami dibenarkan untuk memukul dia dengan pukulan yang bersifat edukatif, bukan untuk menyakiti atau menganiaya. Dalam keadaan seperti ini, seorang muslim dibenarkan melakukan tindakan kekerasan.

 

Dalam konteks penyebaran dakwah Islam, Islam mengedepankan dialog argumentatif, dan menjauhi sejauh-jauhnya tindakan kekerasan. Jihad dan qital adalah instrumen yang digunakan untuk melenyapkan halangan dakwah Islam, tetapi bukan metode untuk “mengislamkan seseorang”.

 

Islam tidak memaksa penduduk negeri-negeri yang ditaklukkan untuk masuk ke dalam agama Islam, kecuali orang-orang musyrik Jazirah Arab. Khusus untuk musyrik Arab, mereka hanya diberi dua pilihan, yakni masuk Islam atau diperangi (jika masih berdiam diri di Jazirah Arab). Yang diminta dari penduduk negeri-negeri yang ditaklukkan adalah ketundukan pada kekuasaan Islam. Adapun untuk mengislamkan seseorang, Islam menggunakan cara maw’izhah hasanah, hikmah dan dialog argumentatif.

 

Selain itu, penerapan hukum Islam di tengah-tengah masyarakat yang mampu menciptakan kesejahteraan, keadilan dan rasa aman merupakan da’wah bil hal yang menjadikan orang-orang kafir tertawan hatinya untuk masuk ke dalam agama Islam.

 

Islam menentang semua bentuk kekerasan yang dilakukan tanpa ada alasan syar’i. Bahkan Islam telah menetapkan sanksi yang sangat keras bagi siapa saja yang berusaha menciderai jiwa dan harta seseorang, baik muslim maupun non-muslim.

 

Khalifah atau wakilnya saja yang secara syar’i berhak dan absah menjatuhkan sanksi atas pelanggaran yang dilakukan oleh warga negara, baik muslim maupun non-muslim, seperti hukuman mati bagi orang yang murtad (hudud), jinayat, dan ta’zir. Selain Khalifah dan wakilnya dilarang menjatuhkan sanksi terhadap siapapun yang melakukan pelanggaran.

 

Dengan pemaparan di atas, terbukti bahwa umat Islam adalah umat yang sangat menjunjung tinggi sikap toleransi. Penerapan hukum-hukum Islam dalam Daulah Islam di tengah-tengah masyarakat. tidak terbukti bahwa umat Islam adalah umat yang intoleran. Malah sebaliknya, kepemimpinan yang berlandaskan aturan-aturan Islam akan mewujudkan kehidupan antar umat beragama yang harmonis penuh dengan keadilan. [El/LM]

Please follow and like us:

Tentang Penulis