Oleh: Aina Syahidah

 

LensaMediaNews – Pada tahun 1972 di Masjid Rahman Hakim Universitas Indonesia (UI), Moh. Natsir pernah mengatakan bahwa jangan sekali-kali mempertentangkan agama dengan Pancasila. Pasalnya, agama merupakan tempat yang baik untuk menyemaikan nilai-nilai Pancasila. Tidak hanya itu, Natsir juga mengingatkan bahwa Pancasila tanpa agama bukanlah apa-apa (Hidayatullah.com). Ya, mau Bagaimana pun kondisinya agama tetap di atas segalanya. Mengayomi apa yang ada di bawahnya. Penuntun pada jalan keselamatan.

Dilansir dari kiblatnews.com edisi 22/02/2020, sebaiknya para pejabat negara tak perlulah bermain-main dengan melempar wacana bahwa ada sekelompok kecil yang anti Pancasila. Pasalnya, hal ini berpotensi menimbulkan sikap saling curiga di masyarakat. Sebelumnya, Ketua BPIP Yudian Wahyudi telah mengklarifikasi ucapannya yang pernah mengatakan bahwa agama musuh Pancasila. Menurutnya, bukan agama seluruhnya, melainkan hanya pada segelintir orang yang kerap mempertentangakannya dengan agama (voaislam.com, 14/02/2020).

Meski begitu, tetap saja ucapan sang Rektor meresahkan masyarakat. Ketua Umum Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia (MIUMI), Dr. H. Hamid Fahmy Zarkasyi mengatakan bahwa pernyataan pimpinan BPIP ini berpotensi memecah belah persatuan bangsa akibat mempertentangan agama dan Pancasila (kiblatnews.com, 22/02/2020).

Belum lagi, dengan melihat kebijakan lain pemerintah hari ini. Sebut saja soal perombakan materi Jihad dan Khilafah di madrasah. Bahkan yang terbaru, penetapan sertifikasi khatib (mediaindonesia.com, 14/02/2020). Rasanya sulit dinafikan, bila tak ada kekhawatiran hebat rezim atas keberadaan syariat di tanah air. Terlebih setelah julukan radikal yang selama ini digaungkan hanya ditujukan kepada mereka yang kerap meneriakan Islam sebagai solusi persoalan negeri. Sedang kepada mereka yang jelas merongrong keutuhan bangsa label ini tidak disematkan.

Padahal, agama dalam hal ini Islam, memiliki jasa yang tiada terkira bagi perjalanan panjang bangsa ini. Tidak sedikit pula yang mengatakan bahwa konstitusi bangsa lahir dari cetusan para ulama serta cendekia muslim di masanya. Tapi mengapa kini masih saja dipertentangkan? Buya Hamka bahkan pernah mengatakan bahwa tidaklah ada suatu agama, dan tidaklah ada satu paham (ideologi) yang dapat menjamin kesuburan Pancasila di Indonesia melebihi Islam (Kiblatnews.com, 22/02/2020).

Hamka justru menilai bahwa sekularismelah yang patut dikatakan sebagai musuh Pancasila. Karena paham yang menghendaki pemisahan agama dalam kehidupan inilah yang membuat nilai-nilai dalam Pancasila sulit terealisasi dalam kehidupan nyata rakyat Indonesia.

Sebut saja terkait isu kesejahteraan. Dimana hari ini hal itu masih sangat jauh dari kehidupan rakyat. Angka kemiskinan di negeri ini masih cukup tinggi, berikut dengan jurang kesenjangan sosial yang terus menganga. Bukankah pesan konstitusi, kemiskinan harus dihapuskan?

Olehnya itu, tidak salah bila sejarawan senior tanah air pernah mengatakan bahwa musuh negeri ini sejatinya kapitalisme. Karena sistem inilah yang telah memiskinkan bangsa ini. Sayang, rezim tidak menganggap ini sebagai sebuah persoalan serius.

Inilah keberhasilan sekularisme di tanah air. Buya Hamka dahulu pernah mengatakan bahwa akibat penerapan sistem ini, kelak kita akan lebih mudah memahamkan Islam kepada orang-orang di luar Islam ketimbang orang Islam itu sendiri. Inilah bahaya besar dari paham ini.

Hari ini semua itu terbukti. Justru kaum muslim sendiri yang kerap menunjukan kepobhiannya terhadap Islam. Bahkan puncaknya, sanggup mengatakan sebagian syariat agama mampu merongrong keutuhan bangsa. Sungguh sangkaan yang amat menyakitkan. Mana mungkin semua bisa terjadi? Sedang alam semesta, kehidupan, dan manusia, dimana bangsa itu bisa tegak berdiri diciptakan oleh Sang Pembuat Syariat (hukum), yakni Allah SWT.

Umat tentu harus cerdas dan bijak melihat fakta ini. Mana mungkin agama yang mulia ciptaan Sang Maha Kuasa berpotensi merongrong keutuhan bangsa? Sedang semuanya bisa ada, karena kehendak-Nya. Lupakah kita, bahwa kelak kita akan ditanya, sejauh mana ketaatan kita pada hukum syara (agama), bukan pada hukum buatan manusia? Untuk itu, taatilah hukum agama, niscaya aturan lain pun akan ditaati selama itu tidak melanggar hukum syara. Sebagaimana ungkapan Prof. John Oman, moral tanpa agama, kehilangan langit luas untuk bernafas.

Wallahualam

 

[hw/LM]

Please follow and like us:

Tentang Penulis