Malangnya Nasib Guru Honorer
Oleh: Anna Ummu Fadan
(Praktisi Pendidikan)
LensaMediaNews— Kini nasib guru honorer tidak jelas ujungnya. Terjadinya pro dan kontra di tengah-tengah masyarakat dan juga di DPR. Pada 20 Januari 2020 digaungkan bahwa guru berstatus akan dihapus. Mengacu pada UU no 5 tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN) hanya mengenal dua jenis status kepegawaian secara nasional yaitu Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kontrak (PPPK). Dengan pelaksanaan bertahap dan memastikan tidak adanya status honorer. (cnbcindonesia.com)
Dari anggota Komisi II DPR RI Cornelis mengusulkan agar para guru honorer yang sudah bekerja selama bertahun-tahun dan berada di daerah-daerah terpencil diberikan keistimewaan untuk bisa langsung diangkat menjadi pegawai negeri sipil tanpa perlu melalui tes.
“Saya yakin negara tidak akan bangkrut. Karena guru-guru SD inpres yang ada di pelosok itu telah mengajar di sekolah-sekolah daerah terpencil sejak zaman pemerintahan Presiden Soeharto, dan berasal dari berbagai daerah di Indonesia. Bagaimana kita akan membangun SDM sesuai visi dan misi presiden, kalau makan mereka tidak tercukupi dan kesehatannya buruk,” imbuh Cornelis. (cnbcindonesia.com, 20 Januari 2020)
Pro kontra di kalangan anggota DPR tentu tak jauh dengan di lapangan. Guru berstatus honorer yang sudah lama berkecimpung di dunia pendidikan, pengabdiannya bertahun-tahun dengan mengorbankan segalanya dari waktu, biaya bahkan keluarga. Sudah menjadi harapan besar. Berkeinginan status tersebut berubah. Imbuh beberapa teman sejawat berstatus Guru Tidak Tetap maupun honorer. Di salah satu Sekolah Dasar di Yogyakarta.
Mimpi dari para guru tersebut bisa jadi kenyataan bisa jadi tidak. Pemerintahlah yang memiliki kebijakan. Namun, belajar dari persoalan di negeri ini “jauh panggang dari api”. Semua hal berpijak pada kekuasaan. Semisal wacana pencabutan subsidi gas melon 3kg, kenaikan BPJS, pendidikan yang kian hari semakin memprihatinkan. Dari moral anak-anak yang jauh dari harapan. Terlebih sekarang wacana guru honorer akan dihapus. Mungkin seperti mimpi di siang bolong manakala harapan itu akan terwujud.
Selain itu kenapa wacana guru honorer ini menjadi perdebatan di kalangan orang-orang elit? Ini berkaitan dengan alokasi dana. Bahwa persoalan di negeri ini berunjung pada anggaran.
“Sementara alokasi anggaran dana dari APBN untuk pendidikan memang hanya 20 persen dari anggaran belanja negara. Sementara negara yang mengandalkan pajak dan hutang sebagai sumber pemasukan APBN ini memang tak mungkin sanggup memenuhinya. Maka wajar gaji guru di negeri ini juga masih sulit untuk dipenuhi oleh pemerintah.” (Republika.co.id, 18 januari 2020)
Islam memuliakan guru
Dalam Islam guru adalah sosok yang dikaruniai ilmu oleh Allah SWT. Yang dengan ilmunya itu dia menjadi perantara manusia yang lain untuk mendapatkan, memperoleh, serta menuju kebaikan di dunia maupun di akhirat. Selain itu guru tidak hanya bertugas mendidik muridnya agar cerdas secara akademik, tetapi juga guru mendidik muridnya agar cerdas secara spritual yakni memiliki kepribadian Islam.
Sejarah telah mencatat bahwa guru dalam naungan Islam mendapatkan penghargaan yang tinggi dari negara termasuk pemberian gaji yang melampaui kebutuhannya. Diriwayatkan dari Ibnu Abi Syaibah, dari Sadaqoh ad-Dimasyqi, dar al- Wadl-iah bin Atha, bahwasanya ada tiga orang guru di Madinah yang mengajar anak-anak. Khalifah Umar bin Khattab memberikan gaji lima belas dinar (1 dinar = 4,25 gram emas; 15 dinar = 63,75 gram emas; bila saat ini 1 gram emas Rp 500 ribu, berarti gaji guru pada saat itu setiap bulannya sebesar Rp 31.875.000).
Selain mendapatkan gaji yang besar, mereka juga mendapatkan kemudahan untuk mengakses sarana dan prasarana untuk meningkatkan kualitas mengajarnya. Hal ini tentu akan membuat guru bisa fokus untuk menjalankan tugasnya sebagai pendidik dan pencetak SDM berkualitas yang dibutuhkan negara untuk membangun peradaban yang agung dan mulia.
Kepemimpinan Islam dalam mencetak guru berkualitas tanpa ketergantungan pada asing yang justru merusak kemandirian bangsa telah tercatat dalam sejarah peradaban Islam. Suatu ketika Sulaiman bin Abdul Malik bersama pengawal dan anak-anaknya mendatangi Atha’ bin Abi Rabah untuk bertanya dan belajar sesuatu yang belum diketahui jawabannya.
Walau ulama dan guru ini fisiknya tak menarik dan miskin, tapi dia menjadi tinggi derajatnya karena ilmu yang dimiliki dan diajarkannya. Di hadapan anak-anaknya ia memberi nasihat, “Wahai anak-anakku! Bertakwalah kepada Allah, dalamilah ilmu agama, demi Allah belum pernah aku mengalami posisi serendah ini, melainkan di hadapan hamba ini.”
Ini menunjukkan betapa terhormatnya guru atau orang yang berilmu. Sampai-sampai sekelas khalifah atau kepala negara masa itu harus mendatanginya untuk mendapatkan ilmu serta menasihati anak-anaknya untuk belajar dan menghormati guru. Wallahu’alam bishowab.
[Hw/Lm]