Lagi-lagi Perundungan Lagi
Oleh: Umi Diwanti
(Revowriter Kalsel, Pengasuh MQ. Khodijah Al-Kubro)
LensaMediaNews – Lagi-lagi dunia pendidikan dibuat murung oleh kasus perundungan. Kali ini seorang siswa (13th) SMP di Malang terpaksa harus diamputasi. Jari tengahnya tidak berfungsi lagi akibat perundungan dari tujuh orang temannya.
Hingga saat ini kasus telah masuk tahap penyidikan. Adapun korban sedang masa pemulihan luka dan trauma jiwanya. Sementara para pelaku akan diproses berdasarkan hukum yang tidak biasanya. Karena masih dianggap anak-anak di bawah umur.
Bulan September lalu juga terjadi di Bekasi. FA dirundung dengan cara dipukul dan ditendang oleh teman sepermainannya yang lebih tua. FA mengalami luka-luka dan harus dirawat di rumah sakit namun akhirnya meninggal dunia (suara.com, 9/9/2019).
Perundungan alias bullying hari ini semakin menjadi. Tiap tahun semakin meningkat. Baik jumlahnya maupun kesadisannya. Kota layak anak (KLA) adalah yang digadang-gadang mampu mengatasi masalah anak diantaranya masalah bullying nampaknya jauh panggang dari api.
Sebagaimana data di tahun 2019, yang meraih penghargaan sebagai kabupaten/kota layak anak bertambah banyak. Dari semula hanya 177 kabupaten/kota di 2018 menjadi 247 kabupaten/kota di tahun 2019 (antara.news, 24/7/2019).
Sedangkan di tahun yang sama data dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dari hasil pengawasan kasus pelanggaran anak di bidang pendidikan selama Januari hingga April 2019 justru banyak terjadi kekerasan pada anak yang didominasi kasus perundungan (detik.news, 2/5/2019).
Program KLA memang telah membangun dan menyediakan banyak fasilitas hingga perundangan yang berusaha menjamin hak anak. Namun, satu hal yang tidak terfasilitasi di sana. Bahkan bisa jadi justru semakin terjauhkan. Yaitu internalisasi nilai agama (Islam) dalam diri anak.
Bagaimana seharusnya orangtua, masyarakat dan negara bersinergi dalam membina syaksiyah Islam dalam diri anak. Bagaimana agar anak memiliki pola pikir yang menempatkan hukum-hukum Allah sebagai timbangan dalam memutuskan dan menilai segala sesuatu. Ini luput dari program KLA yang telah ada.
Keberadaan jaminan hak anak tanpa diimbangi pemahaman tentang kewajiban pada diri anak justru akan menjadi boomerang. Misal dalam UU Perlindungan anak, orangtua atau guru yang memberikan tindakan fisik atau psikis meski untuk tujuan mendidik, bisa kena delik.
Tanpa anak dipahamkan bagaimana adab dan seharusnya seorang anak bersikap. Aturan yang demikian akan menyebabkan kesewenang-wenangan anak. “Berani macam-macam sama kami, kami laporkam kalian!” Jadilah mereka merasa bisa berbuat sesukanya.
Ditambah dengan penetapan usia anak yang tidak sebagaimana ketetapan Sang Pencipta juga menyebabkan remaja kebablasan. Sebagaimana Pasal 1 angka (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, sebelum berusia 18 (delapan belas) tahun, masih dianggap anak. Secara hukum pun akan dijatuhi sanksi khusus anak. Padahal realitanya mereka yang berusia sekitar 15 tahun telah baligh. Telah dewasa dalam pandangan agama (Islam).
Bahkan menurut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA) anak yang berusia kurang dari 12 tahun dianggap belum dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya (hukumonline.com). Padahal realitanya banyak yang telah baligh diusia 12 tahun.
Belum lagi banyak teori psikologi yang menyatakan usia remaja adalah masa pencarian jati diri hingga orang dewasa diminta banyak memaklumi. Jadilah para remaja kita hari ini seperti diberikan ruang kebebasan dalam mengekspresikan segalanya.
Hal ini semakin sempurna dengan mati surinya peran keluarga dan dunia pendidikan terhadap penanaman akidah dan pengenalan syariah Allah. Remaja yang kurang perhatian dan kurang pemahaman akan melakukan segalanya demi memperturutkan keinginan bermodal standar suka dan tidak suka.
Saat apa yang mereka lakukan masuk pada perbuatan pelanggaran. Mereka tidak mendapatkan sanksi atau sangat ringan karena masih dianggap anak-anak. Jadilah tidak akan membuat mereka berubah menjadi lebih baik. Yang kemudian jadi tontonan pada yang lain. “Ah gak apa-apa kok, cuma segitu aja hukumannya.” Jika sudah begini bukankah wajar jika bullying bahkan kasus kemaksiatan lainnya akan terus meningkat di kalangan remaja?
Daripada susah payah membuat berbagai kebijakan dan aturan yang ujung-ujungnya bukan mencegah malah menambah kerusakan yang ada. Lebih baik kita insyafi bersama bahwa kita ini lemah dalam membuat aturan.
Sementara Allah sudah buatkan aturan yang paripurna. Islam. Tinggal digali dan dijalankan. Niscaya tak hanya masalah bullying yang akan sirna, tapi semua kasus baik remaja maupun dewasa.
Alhasil negeri kita bisa fokus berkarya. Mempersembahkan yang terbaik untuk dunia. Sebab Indonesia bahkan dunia hanya akan berkah dengan Syariah Kaffah. Syariah kaffah hanya tegak dengan Khilafah. Biidznillah.
[ry/LM]