Ibu Kota Baru Rasa Asing
Oleh: Eni Mu’ta S.Si
(Pendidik, Revowriter Jombang)
LensaMediaNews – Pemerintah Indonesia mendapuk tiga sosok asing sebagai dewan pengarah pembangunan ibu kota baru. Tugasnya memberikan arahan dan diharapkan keterlibatan mereka dapat meningkatkan kepercayaan di antara para investor untuk berinvestasi di ibu kota baru ini. Mereka adalah Putra Mahkota Abu Dhabi Mohamed bin Zayed (MBZ), mantan Perdana Menteri Inggris Tony Blair, dan CEO Softbank Masayoshi Son. Tentu bukan tanpa alasan kenapa mereka di pilih.
“Beliau-beliau ini memiliki pengalaman yang baik di bidang pembangunan kota, punya pengalaman,” kata Jokowi usai membuka Pertemuan Tahunan Industri Jasa Keuangan di The Ritz Carlton Pacific Place Sudirman, Jakarta, Kamis, 16 Januari 2020 (bisnis.tempo.co, 16/01/2020). Mohamed bin Zayed memiliki pengalaman saat membangun kota Masdar di Abu Dhabi. Kota ini mendapat reputasi baik dari dunia karena dianggap kota yang berkelanjutan dan ramah lingkungan.
Dilansir dari m.republika.co. id, (14/01/2020), sebelumnya Indonesia telah mengawali kerjasama bilateral dengan Abu Dhabi. Sebanyak 16 kesepakatan ditandatangani. Terdiri dari 5 perjanjian antar pemerintah di bidang keagamaan, pendidikan, pertanian, kesehatan, dan penanggulangan terorisme. 11 perjanjian bisnis di bidang energi, migas, Petrokimia, pelabuhan, telekomunikasi, dan riset. Estimasi total dari investasi kerjasama tersebut mencapai US$22,89 miliar atau sekitar Rp 314,9 triliun.
Masayoshi, kata Jokowi, dikenal memiliki reputasi baik di bidang teknologi dan keuangan. Pria terkaya di Jepang ini telah menawarkan investasi senilai US$30 miliar-US$40 miliar untuk pembangunan ibu kota baru. Sementara Tony Blair, dianggap memiliki pengalaman di bidang pemerintahan. Dengan posisinya sekarang sebagai konsultan bisnis Mubadalah, Sovereign Wealth Find (SWF) pengelola dana abadi yang bermarkas di Abu Dhabi Emirat Arab yang memiliki investasi di berbagai belahan dunia, dari Vietnam, Serbia, Colombia, Asia Tengah hingga Afrika Barat.
Jokowi meyakini keterlibatan asing tersebut dapat membangun trust, mendapatkan kepercayaan dunia. Dampaknya, banyak negara tertarik berinvestasi dalam pembangunan ibu kota baru ini. Bahkan di gadang-gadang ibu kota baru ini menjadi persembahan untuk dunia.
Ibu kota belum berdiri, aroma asing sudah terasa dibaliknya. Investasi, bisnis dan bisnis menjadi ciri negara korporatokrasi. Adanya campur tangan asing semakin menguatkan posisi Indonesia sebagai negara korporatokrasi. Negara yang tak fokus mengabdi pada kepentingan rakyat, tapi justru membuka jalan lebar-lebar bagi para korporate untuk menguasai hajat hidup rakyat.
Beberapa tokoh memberikan komentar atas hal ini. Kepada DW Indonesia, pengamat tata kota Nirwono Joga menyayangkan keputusan pemerintah membentuk dewan pengarah pembangunan ibu kota yang anggotanya berasal dari pihak internasional. Nirwono meyakini kemampuan para ahli, konsultan, maupun pengembang di dalam negeri memiliki kualitas kelas dunia untuk bekerja bersama membangun ibu kota baru tanpa ada campur tangan pihak asing (m.detik.com, 16/01/2020).
Nirwono juga menilai kerjasama tersebut bisa menjadi boomerang. Karena harusnya konsep kota pemerintahan bersifat rahasia karena menyangkut sistem pertahanan dan keamanan negara.
Investasi asing tentu tak diberikan begitu saja. Pastinya ada deal-deal tertentu, semisal adanya jaminan dalam bentuk aset, imbal hasil seperti ekspor komoditas tertentu, hingga jasa teknik dari negara investor. Meski Jokowi menegaskan bahwa investasi asing dalam pembangunan ibu kota negara baru bukan berbentuk pinjaman, rasanya mustahil asing tak minta imbalan.
Abdurrahman al-Maliki dalam Politik Islam mengemukakan, sesungguhnya pendanaan proyek-proyek dengan mengundang investasi asing adalah cara yang paling berbahaya terhadap eksistensi negeri-negeri Islam. Investasi asing bisa membuat umat menderita akibat bencana yang ditimbulkannya, juga merupakan jalan penjajahan.
Membangun negara memang butuh modal besar, termasuk butuh sumber daya manusia yang handal. Namun, melibatkan urusan negara pada asing sama artinya bunuh diri politik. Pasalnya, ketika negara sudah dikuasai penanaman modal asing, maka secara keseluruhan dari hulu sampai hilirnya dikendalikan asing.
Dengan berkedok mendorong investasi, pemerintah justru semakin menjerumuskan negara ini dalam kubangan utang. Tentu hal ini tak boleh dibiarkan. Sebab, kaum muslimin diharamkan memberikan jalan bagi orang kafir untuk mendominasi. Firman Allah Swt, ” Allah sekali-kali tidak akan memberikan jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang mukmin.” (Qs.an-Nisa’:141)
Ketika Allah Swt memberikan warning seperti itu, tentu ada kefashadan (kerusakan) yang harus diwaspadai oleh kaum muslim. Islam memiliki aturan soal pemerintahan. Khilafah merupakan negara berasaskan Islam. Khilafah memiliki kebijakan politik dalam hubungan bilateral antar negara.
Merujuk pada sejarah peradaban Islam, sejatinya Khilafah tidak anti asing. Namun hubungan yang terjalin memiliki prinsip demi terlaksananya dakwah Islam. Maka batasan hubungannya juga jelas, apakah perjanjian damai, kerjasama ekonomi, atau persoalan militer. Jadi bukan persoalan bisnis, untung atau rugi. Ketegasan inilah yang menjadi kewibawahan Khilafah dan mencegah dominasi asing di dalammnya.
Wallahu’alam bish-showab.
[LM]