Rakyat Sengsara dalam Tata Negara Ciptaan Manusia
Oleh: Ita Mumtaz
LensaMediaNews – Usai bencana banjir melanda, begitu banyak korban materi dan jiwa menyisakan duka. Lagi-lagi rakyatlah yang paling menderita di bawah kebijakan tata kota yang tak lagi memikirkan nasib mereka. Di saat air mata telah habis, peluh masih mengucur, kesedihan pun merajai jiwa, semuanya disambut dengan kenaikan harga kebutuhan dasar. Harga gas LPG tabung 3 kg segera sukses meroket, iuran BPJS naik 2 kali lipat, Tarif Dasar Listrik (TDL) juga mengalami perubahan harga secara periodik, Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) mengeluh telah merugi disebabkan tarif air yang rendah. Rakyat harus siap-siap mengikuti aturan main, menggapai tingginya rupiah yang harus dibayar meski sebenarnya tiada kemampuan.
Begitu dahsyat penderitaan yang dialami rakyat di era kapitalis. Sementara penguasa dengan pongah mempertontonkan kemewahan yang melumuri gaya hidupnya. Agenda utama pemerintah bukan lagi mewujudkan pelayanan terbaik bagi masyarakat. Namun sebaliknya, rakyat kecil dibiarkan tercekik dan menjerit. Sedangkan para pengusaha justru mendapatkan kucuran dana berlimpah dari kas negara yang notabene adalah milik rakyat.
Dengan dalih kemandirian, negara mencabut berbagai subsidi bahan kebutuhan pokok yang pada dasarnya adalah hak rakyat untuk mendapatkan. Beginilah kezaliman negara yang diatur dengan tatanan demokrasi kapitalisme. Sebuah aturan yang menjadikan sekulerisme dan kebebasan kepemilikan sebagai landasan. Maka dalam negara demokrasi, akan lahir sistem ekonomi kapitalis dan model negara korporatokrasi. Yakni sebuah negara yang kewenangannya didominasi perusahaan-perusahaan besar. Negara korporatokrasi ini tengah menggurita atas restu demokrasi. Segelintir elite yang didukung pemodal kuatlah yang nyatanya berkuasa, bukan rakyat. Rakyat hanya dibutuhkan suaranya dalam pesta pemilihan petinggi partai. Jargon kekuasaan ada di tangan rakyat hanya omong kosong.
Maka tidak heran jika penguasa bersama pengusaha menyuarakan kepentingan yang sama, demi meraup keuntungan pribadi. Kemaslahatan rakyat tak lagi menjadi pertimbangan. Meski rakyat menolak kenaikan harga BBM, TDL, BPJS, Gas LPG dan kebutuhan pokok lain. Namun demi ambisi mereka, jeritan rakyat tiada terdengar.
Musibah banjir dengan kerugian yang tak sedikit, lumpur panas yang memporak-porandakan kampung halaman, kebakaran hutan dengan berbagai resiko, limbah dan bekas kawasan tambang minyak dan batu bara yang membawa pada kasus mematikan. Semuanya adalah dampak mengerikan dari rakusnya para pejabat yang berkolaborasi dengan pengusaha.
Tak cukup itu. Kasus korupsi triliunan di beberapa BUMN, antara lain Bank Century, Pelindo, Kota Waringin Timur, BLBI, E-KTP. Dan yang terbaru adalah PT. Asuransi Jiwasraya sebesar 13,7 T rupiah dan PT. Asabri 10 T rupiah, membuat mata kita terbelalak seakan tak percaya hal ini tega dilakukan oleh pejabat yang diberi amanah mengurus harta negara.
Tontonan keserakahan ini hanya bisa terjadi dalam aturan hidup buatan manusia. Sebuah sistem kehidupan yang rusak sekaligus pembawa kehancuran. Maka tiada jalan lagi selain kembali kepada aturan shahih yang dirumuskan oleh Sang Pencipta manusia dan kehidupan, yakni Islam. Islam sebagai sebuah ideologi tak hanya mengatur aspek ruhiyah saja. Tapi juga memiliki pandangan yang khas tentang politik, yakni bagaimana mengatur urusan rakyat dengan hukum-hukum Islam. Seperangkat aturan kehidupan telah diturunkan oleh Allah mengiringi penciptaan manusia.
Dalam Islam ada sistem pemerintahan yang khas, yakni Khilafah. Tentu saja sangat berbeda dengan Demokrasi – Korporatokrasi, Monarki, dan yang lainnya.
Islam memandang bahwa seorang pemimpin negara adalah raa’in (pengurus rakyat). Sebagaimana yang disampaikan oleh Rasulullah dalam sebuah haditsnya. “Imam (Khalifah) adalah raain (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.” (HR. Al-Bukhari)
Untuk itulah, berbagai fragmen sejarah telah menggambarkan betapa takutnya sang khalifah akan pertanggungjawaban di pengadilan hakiki kelak, jikalau terselip kelalaian akan amanahnya terhadap rakyat. Jangankan merampas harta rakyat untuk keperluan pribadi. Nebeng sedikit penerangan milik negara, ada gejolak penolakan di hati.
Sebut saja Khalifah Umar bin Abdul Aziz yang sedang bekerja di ruangannya. Tiba-tiba suara pintu diketuk seseorang. ”Siapa?” tanya Khalifah. ”Saya, putramu!” “Silakan masuk!” jawab Khalifah sambil memadamkan lampu di dekatnya. Melihat ruangan gelap gulita, maka terkejut dan bertanyalah sang anak. Dengan tersenyum Khalifah Umar bin Abdul-Aziz menyampaikan, ”Sebab, lampu itu, minyaknya dibeli dengan uang negara! Sedang urusan yang dibicarakan, adalah urusan pribadi!”
Masya Allah, betapa sistem kehidupan terbaik dalam bingkai khilafah telah mampu melahirkan sosok pemimpin yang adil dan bertakwa. Jauh dari karakter tamak akan harta dunia yang tiada abadi dan kerap membutakan nurani.
Wallahu a’lam bish-shawwab.
[el/LM]