Balada Sang Tenaga Honorer
Oleh: Tety Kurniawati
(Anggota Komunitas Penulis Bela Islam)
LensaMediaNews— Menteri PAN-RB Tjahjo Kumolo menceritakan anggaran pemerintah pusat terbebani dengan kehadiran tenaga honorer. Pasalnya, setiap kegiatan rekrutmen tenaga honorer tidak diimbangi dengan perencanaan penganggaran yang baik. Terutama, dikatakan Tjahjo di pemerintah daerah (pemda). Dia bilang kehadiran tenaga honorer lebih banyak di pemda dan biasanya tidak direncanakan dengan penganggaran yang baik, sehingga banyak kepala daerah yang meminta anggaran gaji tenaga honorer dipenuhi oleh pusat.
Pengangkatan tenaga honorer menjadi PNS sudah dilakukan sejak tahun 2005-2014, setidaknya sudah ada 1.070.092 orang yang berhasil menjadi abdi negara. Sekarang sisanya ada sekitar 438.590 orang tenaga honorer di lingkungan pemerintahan.
Adapun upaya yang dilakukan pemerintah untuk menghapus status tenaga honorer dengan mengikutsertakan pada seleksi calon pegawai negeri sipil (CPNS) dan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK). Target penyelesaiannya sisa tenaga honorer ini selesai pada 2023. Penghapusan tenaga honorer sendiri sudah disepakati Kementerian PAN-RB dan BKN dengan Komisi II DPR. Ke depannya, pemerintah juga mengimbau kepada seluruh pejabat negara untuk tidak merekrut tenaga honorer. (m.detik.com 25/1/2020)
Nasib tragis yang dialami tenaga honorer sejatinya kian membuktikan kegagalan negara dalam mengatasi masalah penyaluran tenaga kerja. Awalnya rekrutmen tenaga honorer merupakan langkah negara untuk mereduksi jumlah pengangguran sekaligus mendapatkan tenaga kerja murah. Mereka yang dibidik umumnya merupakan lulusan baru dan belum berpengalaman kerja. Tergiur iming-iming janji direkrut sebagai ASN membuat mereka pun rela mengabdi, meski dengan minimnya gaji yang didapat.
Tak dapat dipungkiri, dengan dihapusnya tenaga honorer. Maka jumlah pengangguran akan kian meningkat. Sebab meski diberi waktu transisi 5 tahun untuk tenaga honorer ikut serta pada seleksi Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) dan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK). Namun mustahil semua bisa diterima. Alasannya, tidak semua tenaga honorer mampu untuk memenuhi standar kualifikasi perekrutan yang ditetapkan negara. Alhasil, Alih-alih hadir memberi solusi bagi masalah rakyat. Penghapusan tenaga honorer hanyalah retorika manis yang menyembunyikan tujuan sebenarnya. Tenaga honor harus segera dipangkas, karena dianggap membebani keuangan negara.
Inilah konsekuensinya jika negara masih ingin terus mempertahankan sistem yang ada. Kapitalisme – liberalisme telah mencetak pemimpin-pemimpin yang senantiasa haus akan materi. Kemampuan, rekam jejak, keahlian, integritas dan terutama kualitas spiritualitas tak lagi menjadi acuan dalam memilih pemimpin negeri. Biaya tinggi dalam prosesi pemilihan pemimpin telah mengebiri hak para politikus sejati. Tergantikan para politikus karbitan, hasil rekayasa pencitraan. Wajar jika kemudian mereka hanya pandai menyenangkan tuan pemilik kapital. Tidak peduli jika rakyat senantiasa jadi korban.
Berhitung untung rugi ekonomi pun jadi solusi rasional atasi rekrutmen pegawai negara. Pengelolaan negara dilaksanakan sebagaimana halnya tata kelola perusahaan. Dimana profit jadi tujuan digulirkannya tiap kebijakan. Sudahlah jadi pengisi pundi-pundi materi para pemilik kapital. Kesejahteraan hanyalah mimpi tak bertepi bagi rakyat kebanyakan.
Akhir kisah tenaga honorer mungkin tak sekeruh ini bila negeri ini mau menerapkan sistem Islam. Halal haram menjadi standar mutlak dalam tiap perbuatan. Islam juga memandang politik sebagai aktivitas mengurus kepentingan umat dengan penerapan syariat Islam. Akibatnya, pemimpin yang dihasilkan dalam sistem Islam adalah pemimpin amanah, yang benar-benar berjuang demi kemaslahatan rakyatnya, bukan untuk kepentingan pribadi dan parpol pengusungnya. Ia berjuang demi rakyatnya atas dasar dorongan ketertundukan dan keterikatanya pada aturan-aturan As-Syari’. Karena ia meyakini suatu saat dia harus mempertanggungjawabkan kepemimpinannya dihadapan Allah.
Islam tak mengenal istilah tenaga honorer dalam rekrutmen pegawai negara. Rekrut hanya dilaksanakan untuk memenuhi kebutuhan riil negara guna menjalankan semua pekerjaan admistratif maupun pelayanan. Tentunya dipastikan dalam jumlah yang terukur dan mencukupi. Semua gaji dibayarkan oleh kas Baitul Maal dengan akad ijarah. Besarannya dipastikan layak sesuai dengan jenis pekerjaannya. Bila kas Baitul Maal tidak mencukupi, ditariklah dharibah (pajak) yang bersifat temporer.
Di saat yang sama, karena terbukanya lapangan kerja. ASN bukanlah satu-satunya pekerjaan incaran rakyat untuk mendapatkan beragam jaminan hidup layak dan tunjangan hari tua. Demikianlah jika negara serius ingin menuntaskan masalah rekrutmen pegawai negara. Maka kembali bersandar pada aturan Illahi harus menjadi upaya yang diperjuangkan bersama. Agar kesejahteraan hakiki bisa terwujud nyata.
Wallahu a’lam bish showab. [El/LM]