Korupsi Merajalela, Dicari Solusi Tuntas

Oleh : Alfiana Rahardjo, S.P

 

LensaMediaNews— Korupsi merupakan persoalan negeri ini yang hingga kini tak kunjung terselesaikan. Bahkan semakin merajalela. Nyatanya belum selesai satu kasus korupsi, muncul kasus korupsi yang lainnya. Kasus korupsi di Indonesia menggurita, ibarat benang kusut sulit terurai. Diantaranya, kasus dugaan suap yang menimpa Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Wahyu Setiawan yang menunjukkan perilaku koruptif (rmol.id, 10/1/2020). Wahyu Setiawan diperiksa sebagai tersangka pada kasus suap terkait penetapan anggota DPR terpilih periode 2019-2024 (republika.co.id, 10 /1/2020)

 

Fakta tersebut hanya sebagian kecil dari sekian banyak kasus korupsi yang masih menghantui negeri ini. Beragam bentuk kasus korupsi menunjukkan bahwa setiap celah urusan bisa dijadikan kesempatan untuk melakukan korupsi.

 

Indonesia tanpa korupsi hanya sekadar mimpi. Belum satu kasus korupsi selesai muncul kasus korupsi baru. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pun tak berdaya. Meski sering menindak pelaku dengan operasi tangkap tangan (OTT), namun gerak KPK lemah dalam menjalankan fungsinya. Banyak yang mensinyalir bahwa revisi UU KPK sesungguhnya untuk melindungi para koruptor.

 

Mencermati banyaknya kasus korupsi, wajar bila berbagai pihak pesimis kasus korupsi bisa terselesaikan. Apalagi korupsi terbukti memapar seluruh sisi penyelenggara negara di berbagai level. Termasuk lembaga pengawas pemilu yang bertanggung jawab memastikan Indonesia dipimpin oleh penguasa dan pejabat yang kredibel.

 

Budaya korupsi yang terjadi di kalangan politisi ini karena negeri ini sangat memuja sistem politik demokrasi. Demokrasi merupakan buah dari kapitalisme-liberal dengan sekularisme sebagai landasan berpijaknya. Sekulerisme adalah paham memisahkan agama dari lini kehidupan. Banyak politisi yang awalnya memiliki ketakwaan kepada Allah, tergerus dalam budaya korupsi. Lemahnya sanksi hukum bagi para pelaku korupsi juga merupakan bagian dari sistem politik ini. Sanksi hukum yang berlaku tidak memberikan efek jera pada pelaku korupsi. Hukuman bagi mereka pemakan harta negara hanya hukuman kurungan beberapa tahun saja.

 

Sistem politik demokrasi menuntut biaya yang tak sedikit untuk menjadi anggota DPR, sehingga para politisi berusaha mencari pendanaan melalui jalan korupsi. Dengan sistem kapitalis, orientasi hidup manusia adalah meraih materi sebanyak-banyaknya tanpa mempertimbangkan halal atau haram dalam menjalankan kehidupannya.

 

Korupsi akan tuntas bila akar permasalahannya terpecahkan, yakni berhubungan dengan sistem yang diterapkan di negeri ini. Sistem kapitalis-demokrasi yang selama ini diterapkan sudah seharusnya ditinggalkan.

 

Ada sebuah pilihan sistem yang terbaik. Sistem yang sempurna, karena langsung berasal dari Allah Sang pembuat aturan. Sistem yang tidak perlu diragukan kebenarannya. Sistem yang tak cacat seperti sistem kapitalis yang merupakan buatan manusia, makhluk yang tak sempurna. Adalah sistem Islam. Sistem yang memang diperuntukkan Sang Pencipta untuk diterapkan oleh manusia dalam mengatur kehidupan di dunia ini.

 

Sistem Islam memberantas korupsi dengan lahirnya individu takwa, yakni penguatan keimanan di tengah masyarakat termasuk para pejabat. Sistem ini juga menerapkan mekanisme pengangkatan pejabat yang khas, efektif dan efisien sehingga tidak menuntut para calon-calon pejabat untuk mengeluarkan biaya, sebagaimana sistem demokrasi saat ini. Dan pelaku korupsi akan diberi sanksi tegas dan tanpa tebang pilih sehingga memberikan efek jera.

 

Sistem politik Islam menempatkan negara atau penguasa sebagai raa’in (pengurus) dan junnah (pelindung) umat. Bukan penguasa yang menarik keuntungan dari rakyat seperti dalam sistem politik kapitalisme. Fungsi kepengurusan dan perlindungan ini terwujud melalui konsistensi negara dalam menerapkan Islam secara kaffah. [RA/LM] 

Please follow and like us:

Tentang Penulis