Mengurai Sengkarut Problem Pemberantasan Korupsi
Oleh: Tety Kurniawati
(Anggota Komunitas Penulis Bela Islam)
LensaMediaNews— (Kinerja Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali dipertanyakan. Setelah serangkaian beberapa kasus korupsi mencuat ke permukaan. Rektor Universitas Ibnu Chaldun, Musni Umar menilai serangkaian korupsi yang terjadi di negeri ini sangat menyedihkan dan menyakitkan hati rakyat. “Mengerikan sekali korupsi di negara kita. Jiwasraya, Asabri, Pelindo, proyek fiktif di Kemen PUPR, Suap di KPU libatkan partai penguasa, kasus di Garuda,” urainya dalam akun Twitter.
Dia mengaku tidak dapat membayangkan kasus apalagi yang akan muncul di publik. Musni hanya berharap KPK berani mengungkap skandal-skandal ini demi menyelematkan rakyat Indonesia.
Seperti diketahui, kasus korupsi besar bermunculan di awal periode kedua Presiden Joko Widodo. Diawali dengan PT Asuransi Jiwasraya yang diduga merugikan negara hingga Rp13,7 triliun, kini kasus serupa terjadi di PT Asabri (Persero).
Menko Polhukam Mahfud MD mengatakan bahwa kerugian negara yang diakibatkan dari PT Asabri mencapai Rp 10 triliun. (rmoljatim.com 12/1/2020)
Korupsi politik sejatinya bukanlah hal baru di negeri ini. Terminologi tindak korupsinya mengacu pada setiap korupsi yang terjadi pada sektor politik ataupun melibatkan partai politik. Dimana penyalahgunaan wewenang dan benturan kepentingan rentan terjadi pada para pemegang kekuasaan.
Praktik politik transaksional yang melekat atas penerapan demokrasi. Meniscayakan demokrasi dan korupsi ibarat dua sisi mata uang yang tak terpisahkan. Kapanpun dan di manapun demokrasi diterapkan. Korupsi jadi konsekuensi yang tak terhindarkan. Sebaliknya tanpa korupsi, demokrasi takkan mampu mempertahankan eksistensi.
Kondisi ini kian diperparah dengan lemahnya penegakan hukum. Di samping adanya upaya sistematis untuk melemahkan eksistensi dan peran lembaga antikorupsi, khususnya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Lihat saja bagaimana revisi UU KPK menjadikan keberadaan Pengawas KPK justru memperlambat proses pengungkapan kasus korupsi. Bahkan KPK bisa digugat jika melakukan OTT tanpa seijin Dewan Pengawas.
Sungguh inilah bukti nyata atas kerusakan demokrasi. Sistem yang tegak atas paham sekuler dan liberal ini. Meniscayakan lahirnya aturan yang penuh kecacatan dan sarat dengan berbagai kepentingan. Hukum yang harusnya jadi penegak kebenaran, tak lebih hanya alat impresi. Tuk mendepak lawan politik dan mengamankan posisi. Hingga korupsi di lingkaran kekuasaan yang terjadi saat ini, hanyalah satu di antara penyakit bawaan yang tak terhindari. Penyakit yang mustahil diberantas lewat lembaga semisal KPK yang lebih berorientasi pada penindakan dan sanksi. Wajar jika keberadaannya tak membuat gentar dan jera para pelaku korupsi.
Islam Solusi Pemberantasan Korupsi
Demokrasi yang nyata meniscayakan langgengnya korupsi di negeri ini harus diganti dengan sistem yang mampu menjamin budaya _munkar_ ini terhenti. Sistem Islam yang pasti membawa kemaslahatan karena berasal dari Sang Penguasa Hakiki.
Islam menjadikan halal-haram sebagai standar mutlak setiap perbuatan. Maka tiap pemegang kekuasaan tidak akan pernah menyelewengkan wewenang yang dimilikinya atas dasar kesadaran bahwa apapun yang diperbuatnya semasa memangku jabatan akan dimintai pertanggungjawaban. Islam memiliki sistem penggajian dan fasilitas yang layak hingga tak ada alasan keterbatasan ekonomi yang memicu terjadinya pengkhianatan terhadap amanah jabatan. Abu Ubaidah pernah berkata kepada Umar, ”Cukupilah para pegawaimu, agar mereka tidak berkhianat.”
Sabda Nabi SAW, ”Siapa saja yang bekerja untuk kami, tapi tak punya Rumah, hendaklah dia mengambil Rumah. Kalau tak punya isteri, hendaklah dia menikah. Kalau tak punya pembantu atau kendaraan, hendaklah ia mengambil pembantu atau kendaraan.” (HR Ahmad). Islam juga melarang aparat negara untuk menerima suap dan hadiah. Nabi SAW bersabda, “Barangsiapa yang menjadi pegawai kami dan sudah kami beri gaji, maka apa saja ia ambil di luar itu adalah harta yang curang.” (HR Abu Dawud).
Disamping itu juga dilakukan pengecekan berkala terhadap harta para penyelenggara negara. Amirul Mukminin Umar bin Khaththab pernah menghitung kekayaan para pejabat di awal dan di akhir jabatannya sebagai langkah pengawasan.
Dalam Islam, koruptor dikenai hukuman ta’zir berupa tasyhir atau pemberitaan, penyitaan harta dan hukuman kurungan, bahkan sampai hukuman mati.
Demikianlah, islam menegakkan keadilan. Dicabutnya kezaliman sampai ke akarnya. Maka jika ingin negeri ini keluar dari sengkarut problem pemberantasan korupsi. Mengembalikan pengelolaan negara berdasarkan perintah Ilahi harus dijalani. Agar pemerintahan yang bersih dan mensejahterakan rakyat bisa terealisasi. Wa allahu a’lam bish showab. [ El/LM]