Oleh: Astia Putri, SE, MSA

(Pegiat literasi dan Aktivis Dakwah) 

 

LensaMediaNews – Judul tulisan ini sudah seperti pernyataan seorang remaja tanggung yang merasa gerah terus saja dipersalahkan atas sesuatu yang tidak ia pahami salahnya apa, lantas berkata “apa salahku? Tega sekali kalian menuduhku begitu”. Mungkin itu juga yang dirasakan oleh umat ini ketika Khilafah sebagai bagian dari ajaran Islam selalu saja disudutkan dan dianggap sebagai biang kerok atas segala permasalahan negeri, terkhusus radikalisme. 

Hal ini nampak dari pernyataan Mahfud MD yang dilansir dari Kumparan.com (3/1). Ia menyatakan bahwa ajaran khilafah merusak tatanan bernegara yang telah digunakan Indonesia selama ini serta berseberangan dengan dasar negara. Opini ini jelas menyesatkan tersebab tak ada bukti yang mampu menunjukkan para pengemban dakwah ini melakukan aksi anarkis atau provokatif yang membahayakan keutuhan NKRI.

Kita mengamati, pemerintah dengan segala gembar-gembor isu radikalisme yang memuncak sedari pergantian rezim telah menunjukkan kesatu-suaraan dengan hal ini. Jika kemudian Mahfud MD mengaitkan pernyataan ini dengan penyangkalan atas persepsi yang berkembang di tengah umat Islam bahwa pemerintah terjangkiti islamophobia dan anti Islam, maka wajar saja pernyataan ini tak mudah diterima oleh publik.

Sedari awal umat telah mampu melihat tak ada korelasi isu radikalisme dan khilafah dalam kesejahteraan kehidupan umat. Bisa diperhatikan semisal institusi sekolah, perguruan tinggi, hingga merambah kajian-kajian yang dituduh menjadi markas berkembangnya ajaran khilafah tidaklah menelurkan teroris ataupun koruptor yang mencuri uang rakyat.

Secara ringkas, tak pernah bahwa khilafah menjadi penyebab naiknya tarif BPJS atau kasus lainnya. Penggorengan isu lah yang senantiasa terjadi. Justru, masalah utama yang sangat nyata dan terasa di sisi umat adalah beratnya beban hidup yang terus mencekik rakyat akibat dari kebijakan yang tidak pro rakyat.

Pernyataan ini bisa dibuktikan dengan semakin meningkatnya tren perselingkuhan antara korporasi (pengusaha) dan birokrasi (penguasa) dalam bingkai kapitalisme. Negara telah secara terbuka menggandeng swasta dalam program pembangunannya. Salah satu yang bisa ditengok dalam pernyataan pemerintah melalui Komite Percepatan Penyediaan Infrastruktur Prioritas (KPPIP).

Ketua tim pelaksana KPPIP menyatakan investasi swasta akan meningkat 10 kali lipat lebih besar pada 2020-2024 dengan nilai mencapai Rp 1.400 triliun (Kompas.com, 27/12). Rakyat hanyalah menjadi korban akibat perselingkuhan ini. Rakyat harus pasrah dengan ambisi program pembangunan pemerintah namun dengan menggandeng mesra pihak swasta yang semata demi kepentingan bisnis.

Pemerintah atas nama investasi berjanji akan terus memberikan kemudahan kepada pihak swasta untuk berinvestasi semisal mewacanakan penghapusan AMDAL dan IMB yang nyatanya membawa dampak kerusakan lingkungan dan konflik dengan rakyat. Rakyat tak lagi mendapat kepengurusan sebagaimana janji yang pernah diudarakan hingga melangit. Rakyat harus sibuk sendiri memenuhi kebutuhan hidupnya dengan bertransaksi dengan swasta yang amat bernafsu terhadap keuntungan.

 

Khilafah Membawa Berkah

Berbeda halnya dengan kapitalisme yang khas dengan perselingkuhan keji korporat dan birokrasi. Khilafah sebagai sebuah sistem pemerintahan syar’i dalam Islam akan memosisikan penguasa sebagai pelayan rakyat. Hal ini sebagaimana ditegaskan oleh Nabi SAW.

فَالْإِمَامُ الَّذِي عَلَى النَّاسِ رَاعٍ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ

Imam (khalifah) adalah pengurus dan ia bertanggung jawab atas rakyat yang dia urus (HR. Bukhari, Muslim dan Ahmad).

Makna pelayan adalah bahwa pemimpin akan bertanggungjawab dalam memenuhi kebutuhan rakyatnya dengan pengelolaan sumber daya alam yang ada semata-mata untuk kepentingan rakyat hingga terciptalah kesejahteraan. Hal ini bukan sekedar janji manis, karena bersandar pada nash Alquran,

“Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (Q.S Al-A’raf ayat 96).

Ayat ini menegaskan ketika umat Islam beriman dan bertakwa yang termanifestasi pada ketundukkannya menerapkan syariat Islam secara kaffah dalam naungan khilafah, maka keberkahan pastilah melimpah di bumi ini. Maka jelas, sesiapa yang menyatakan khilafah itu merusak, sejatinya telah menentang firman Allah.

Khilafah sebagai institusi yang menerapkan syariat Islam secara total justru merupakan solusi terbaik yang mampu menyelamatkan negara dari keterpurukan. Secara historis pun telah terbukti bahwa sistem khilafah berhasil menciptakan individu, masyarakat bahkan jajaran pemerintah (negara) memiliki pribadi yang berakidah kuat dan berakhlak mulia.

Khilafah Islam berhasil menelurkan pemimpin-pemimpin yang zuhud dan paling pro rakyat seperti Umar bin Khatab, Umar bin Abdul Aziz, Harun Ar-Rasyid hingga khalifah terakhir Sultan Abdul Hamid II. Khilafah adalah sebuah negara bervisi besar yang akan mampu memutus tali ketergantungan pada swasta. 

Khilafah akan mampu berdikari secara ekonomi dan membangun pendidikan yang berkelas. Sistem keuangan pun dibangun dengan standar dinar dan dirham yang sehat. Khilafah akan menjadi role model dalam kemajuan ekonomi yang sangat dibutuhkan dalam mengatasi krisis multi dimensional global saat ini. Jika sudah begini, maka coba kita renungi dan pikirkan lagi. Apa salah khilafah?

 

[ln/LM] 

Please follow and like us:

Tentang Penulis