Nasionalisme Menawan Semangat Persatuan
Oleh : Keni Rahayu, S.Pd
(Ibu Muda dan Penggerak Remaja)
LensaMediaNews – Sejumlah perempuan etnis Uighur yang mengaku pernah ditahan di kamp khusus di Xinjiang, Cina mengklaim bahwa mereka secara paksa dibuat mandul dengan cara disuntik. Menurut mereka hal itu terjadi ketika mereka berada di kamp (CNN Indonesia, 14/8/19).
Bagaimana sikap negara mayoritas muslim terhadap Uyghur?
Iran tidak melayangkan kritik terhadap kebijakan Cina. Cina adalah importir terbesar minyak dari Iran, banyak berinvestasi di sektor migas dan aktif melebarkan hubungan dagang dengan Iran. Pakistan dan Arab Saudi juga bungkam atas alasan ekonomi. Pangeran Muhammad bin Salman bahkan memuji kebijakan minoritas Cina dan hal serupa diungkapkan berbagai negara Arab. Dalam hal ini pun hubungan ekonomi menjadi faktor penentu (detik.com, 5/9/19).
Beginilah konsekuensi dari Nation State. Negeri muslim dikotak-kotakkan atas nama Nasionalisme. Setiap negara berdiri di atas kaki kepentingan masing-masing. Bukan tak peduli pada saudaranya di lain negara, melainkan tabrakan kepentingan. Kalau sudah begini, yang diutamakan jelas kepentingan sendiri.
Ide Nation State tidak lepas dari ulah musuh-musuh Islam. Mereka berupaya sekuat tenaga agar umat Islam tak bersatu. Bertahun-tahun mereka berusaha menggerogoti khilafah Turki Utsmani agar segera tumbang. Karena khilafah adalah benteng yang agung. Tak akan mudah umat Islam dijajah jika mereka memiliki junnah.
Ternyata berhasil. Isu Nasionalisme dan Nasionalisasi berhasil membuat negara-negara di bawah kepemimpinan khilafah Islam ingin berlepas diri. Sampai hari ini pun (setelah Khilafah tumbang), Nasionalisme masih menjadi senjata yang ampuh untuk membuat negeri-negeri muslim menjadi egois.
OKI, Organisasi Kerjasama Islam, sejatinya ada untuk menyelesaikan permasalahan negeri muslim. Sayangnya, organisasi yang memiliki 57 anggota negara ini tak memiliki taring apa pun untuk menjaga dan melindungi warga negara anggotanya.
Meski puluhan negara mayoritas muslim bergabung menjadi anggota OKI, tak ada jaminan mereka semua memiliki tujuan yang sama. Setiap negara punya kepentingan masing-masing. Dalam konteks ini adalah kerjasama dengan Cina menghambat reaksi sejati negeri muslim dalam membela muslim Uyghur yang disiksa.
Ketiadaan satu komando, meniadakan kesamaan langkah. Ketiadaan satu visi, meniadakan kesamaan misi. Begitulah Islam di dunia hari ini. Mereka tak memiliki satu seruan yang jelas dari seorang pemimpin yang tegas. Bukankah Allah Subhana Wa Ta’ala telah berfirman dalam QS. Ali Imron:103? yang artinya:
“ Dan berpegang teguhlah kamu semuanya pada tali (agama) Allah seraya dengan berjama’ah dan janganlah kamu bercerai-berai, dan ingatlah nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa jahiliyah) bermusuhan, lalu Allah mempersatukan hatimu, sehingga dengan karunia-Nya kamu menjadi bersaudara…”
Ayat ini menjadi seruan wajib bagi manusia untuk bersatu padu di bawah sebuah kepemimpinan yang bervisi Islam. Di mana maksud dari berpegang teguh pada tali agama Allah adalah menjalankan syariat-Nya baik dari Quran maupun Sunnah, baik secara individu maupun negara. Yang semua ini hanya bisa terealisasi dalam sistem pemerintahan Islam.
Sejatinya, untuk menyelesaikan konflik di negeri-negeri muslim, komando seorang khalifah dibutuhkan. Persatuan negeri-negeri muslim disama-langkah-kan. Ketika negeri-negeri muslim bernaung pada satu payung yang agung, keadilan pasti dijunjung. Kemenangan diseru-seru menggaung. Itulah khilafah ala minhajin nubuwah.
Kelak segera tiba. Mari kita persiapkan jiwa. Agar kita menyambutnya dengan peluh bahkan darah, sebagai perjuangan dalam genggaman kita.
Wallahu a’lam bishowab.
[ry/LM]