Diplomasi Lunak dan Matinya Ukhuwah Islamiyah

Oleh: Eva Priyawati, S.Pd

(Co-Founder Lingkar Muslimah Salihah) 

 

LensaMediaNews – Tragedi kemanusiaan yang menimpa etnis muslim di Uyghur kembali menyita perhatian dunia. Kasus ini mengemuka sejak tahun 2018. Jutaan kaum muslim dikabarkan ditahan di kamp konsentrasi untuk dire-edukasi. Re-edukasi yang dimaksud adalah memaksakan pemahaman komunis kepada kaum muslimin Uyghur.

Berbagai video dan foto-foto penyiksaan yang tidak manusiawi telah beredar luas di dunia maya. Jenis-jenis penyiksaan yang dibenarkan oleh saksi hidup sungguh telah menjatuhkan nilai-nilai kemanusiaan di kamp konsentrasi tersebut. Tak ada agama, suku, dan ras mana pun yang membenarkan tindakan keji hanya demi memaksakan suatu paham tertentu dan mematikan pelaksanaan peribadahan umat muslim di sana.

Dunia mengecam. Hampir semua mengutuk tindakan represif pemerintah Cina di Uighur. Bahkan ada beberapa negara yang melakukan aksi boikot terhadap Cina. Indonesia setelah didesak oleh berbagai pihak akhirnya mengambil sikap.

Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum dan HAM (Menko Polhukam) Mahfud MD mengatakan, Menteri Luar Negeri RI Retno Marsudi sudah melakukan langkah-langkah diplomasi lunak terhadap dugaan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) atas etnis minoritas Uighur di Xinjiang, China. Menurutnya, posisi Indonesia dalam hal ini sebagai penengah bukan konfrontatif. (Republika.co.id, 19/12/2019)

Sekilas sikap pemerintah Indonesia netral dan obyektif terhadap permasalahan ini. Namun jika ditelaah lagi, diplomasi lunak ini adalah sikap cuci tangan dan tidak mau tahu terhadap kekejian yang sudah dilakukan pemerintah Cina. Entah karena tak peduli atau karena sudah terlanjur terjerat utang luar negeri Cina, langkah pemerintah dengan diplomasi lunak tersebut malah membenarkan klaim pemerintah Cina bahwa tidak ada penyiksaan di kamp konsentrasi tersebut.

Sungguh ikatan akidah kaum muslimin saat ini sedang berada pada titik terlemahnya. Tanpa pembela kaum kafir leluasa melakukan kekejian terhadap kaum muslimin. Sekat-sekat nasionalisme telah mematikan kepedulian dengan dalih tidak mencampuri urusan dalam negeri negara lain.

Rasulullah mengumpamakan kaum muslimin sebagai satu tubuh. Jika satu bagian merasakan sakit maka bagian tubuh lain akan merasakan sakit juga. Sayangnya saat ini kaum muslimin tercerai-berai. Tidak ada satu pun kepemimpinan di dunia yang terdepan membela. Langkah para kepala negara di dunia hanya terbatas pada mengecam. Tidak ada yang berani melakukan langkah konkrit membebaskan muslim Uighur dari kamp konsentrasi.

Dalam hadist Rasulullah bersabda, “sesungguhnya seorang imam adalah perisai, orang-orang berperang dari belakangnya dan menjadikannya pelindung, maka jika ia memerintahkan ketakwaan kepada Allah ‘azza wa jalla dan berlaku adil, baginya terdapat pahala dan jika ia memerintahkan yang selainnya maka ia harus bertanggung jawab atasnya)“ (HR. al-Bukhari, Muslim, an-Nasai dan Ahmad).

Dari hadist tersebut sikap yang harus diambil oleh pemimpin sejati adalah melindungi muslim Uyghur dari penyiksaan dan membebaskan mereka. Hingga seluruh muslim Uyghur bisa menjalankan syari’ah Allah dengan aman dan damai. Bukannya menjalankan diplomasi basa-basi untuk mengambil hati musuh Allah.

Teladan sejati dari sebuah kepemimpinan dan pertalian ukhuwah Islamiyah adalah peristiwa masyhur saat pembebasan kota Amuriah pada 223 Hijriah (837 M) oleh Khalifah Al-Mu’tashim Billah. Seorang perempuan muslimah dilecehkan di sebuah pasar di Kota Amuriah. Teriakan “Waa Mu’tashimah” yang artinya di mana kau Mu’tashim dari muslimah tersebut telah membuat sang khalifah segera mengerahkan pasukan untuk membela kehormatan muslimah tersebut.

Sungguh pasukan yang dikerahkan sangatlah banyak. Saking banyaknya pasukan sampai-sampai kepala pasukan berada di Kota Amuriah dan ekor pasukannya berada di ibu kota di Kota Baghdad. Hanya demi membela kehormatan satu orang muslimah.

Setiap penindasan yang menimpa kaum muslimin dan bungkamnya para penguasa negeri muslim semestinya menyadarkan umat Islam akan pentingnya persatuan dalam satu kepemimpinan. Kaum muslimin pernah berjaya hidup damai dan adil dalam satu kepemimpinan pada masa Rasulullah. Berikutnya sistem yang berlaku di masa Rasulullah diteruskan oleh para sahabat dalam Khulafaur Rasyidin dan terus berjalan selama 1400 tahun setelahnya. Satu kepemimimpinan tersebut adalah Kekhilafahan.

Wallahua’lam.

 

[el/LM]

Please follow and like us:

Tentang Penulis