Pemberian Grasi untuk Koruptor, Dimanakah Keadilan?

Oleh : Vikhabie Yolanda Muslim

 

LensaMediaNews – Baru-baru ini publik kembali disuguhkan dengan kebijakan mengejutkan yang dikeluarkan presiden. Presiden Joko Widodo (Jokowi) bicara soal pemberian grasi kepada eks Gubernur Riau Annas Maamun. Jokowi mempertimbangkan putusan Mahkamah Agung (MA) hingga faktor kemanusiaan.

“Kenapa itu diberikan? Karena memang dari pertimbangan MA seperti itu. Pertimbangan yang kedua dari Menko Polhukam juga seperti itu. Yang ketiga, memang dari sisi kemanusiaan memang umurnya juga sudah uzur dan sakit-sakitan terus. Sehingga dari kacamata kemanusiaan itu diberikan. Tapi sekali lagi atas pertimbangan MA dan itu adalah hak yang diberikan kepada Presiden dan UUD,” kata Jokowi di Istana Kepresidenan Bogor, Jawa Barat, Rabu (27/11/2019). Annas harusnya bisa bebas pada 2021. Namun, dengan grasi itu, pada tahun 2020 Annas sudah bisa menghirup udara kebebasan. (Detik.com, 27/11/19)

Lantas keputusan presiden pun menuai polemik. Grasi yang diberikan terhadap sang koruptor jelas menodai rasa keadilan di tengah-tengah masyarakat Indonesia. Kasus korupsi yang dilakukan Annas Maamun ini terkait sektor kehutanan, yakni dugaan suap miliaran rupiah revisi alih fungsi hutan di Riau. Bagaimana bisa korupsi diberantas jika para pelaku korupsi bukannya diberi efek jera, malah diberi grasi?

Lalu dimana keadilan yang selama ini selalu digaungkan oleh para petinggi negeri ini? Dimanakah fungsi Pancasila saat ini khususnya sila ke-2 tentang kemanusiaan yang adil dan beradab? Grasi untuk narapidana korupsi begitu mudahnya diberikan, sementara untuk Ustadz Abu Bakar Ba’asyir dengan usia 81 tahun, beliau jauh lebih uzur dan lebih sakit-sakitan daripada Annas, tetapi tetap “dipertahankan” untuk meringkuk dibalik jeruji besi. Adilkah semua ini?

Maka kondisi tersebut, lagi-lagi membuka lebar mata rakyat atas tak adanya keadilan di dalam sistem ini. Standar kemanusiaan atas dasar kehendak penguasa yang diberikan hanya pada pihak yang berkepentingan. Namun ketika alim ulama ataupun para asatidz tersandung kasus yang bahkan belum terbukti kebenarannya, maka timbul perlakuan yang berbeda 180 derajat. Penegakan hukum tanpa pandang bulu kini hanya menjadi wacana. Maka dimanakah keadilan yang dimaksud?

Hal ini tentu saja jauh berbeda ketika hukum-hukum Islam ditegakkan. Hal ini telah ditunjukkan oleh junjungan kita Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam yang sangat menjunjung tinggi keadilan dan syariat.

Pada kasus seorang wanita dari Bani Makhzum yang ketahuan mencuri, orang-orang Quraisy mengkhawatirkan nasib wanita tersebut. Mereka berkata, ‘Siapa yang bisa melobi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ? Mereka pun menjawab, ‘Tidak ada yang berani kecuali Usamah bin Zaid yang dicintai oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka Usamah pun berkata (melobi) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk meringankan atau membebaskan si wanita tersebut dari hukuman potong tangan. Beliau kemudian bersumpah, bahkan jika Fatimah binti Muhammad mencuri, dan Fatimah tentu lebih mulia secara nasab dibandingkan dengan wanita bani Makhzum yang ketahuan mencuri, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri yang akan memotong tangannya.

Demikianlah, wajib atas pemimpin untuk tidak pandang bulu dalam menegakkan hukum. Mereka tidak boleh memihak seorang pun karena hubungan dekat, kekayaan, kemuliaannya di masyarakat atau sebab lainnya.

Maka jelaslah keadilan yang hakiki dan menyeluruh untuk ummat hanya bisa terealisasikan dibawah naungan syariat Islam. Yakni ketika hukum Allah diterapkan secara kaffah, bukan atas dasar mengikuti hawa nafsu ataupun keadilan versi penguasa.

 

[LM] 

Please follow and like us:

Tentang Penulis