Bencana Bagi Pengritik dalam Sistem Demokrasi

Oleh: Puji Ariyanti
(Ibu dan Pemerhati Generasi)

 

LensaMediaNews – Ujaran kebencian di media sosial yang berujung ke kasus hukum tengah mendapat sorotan masyarakat. Kasus ini kuat hubungannya dengan melanggar Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), (KOMPAS.com 13/10’19).

Lahirnya UU ITE, Perpu ormas atau UU politik yang menyepakati persentase soal presidential treshold adalah beberapa produk hukum, justru yang sedikit banyak mengekang demokrasi di negeri ini. Semua produk hukum ini banyak yang pada akhirnya dimanfaatkan penguasa untuk menjerat mereka yang kritis terhadap rezim. Bahkan tanpa harus menunggu proses hukum, mereka ditangkap dan dipenjarakan.

Kabar terbaru, terkait kasus penusukan Menko Polhukam Wiranto, tiga personel Tentara Nasional Indonesia (TNI) mendapat sanksi hukum dicopot dari jabatannya. Para anggota ini mendapatkan hukuman disiplin karena ulah istrinya yang mengunggah konten di media sosial.

Tidak tanggung-tanggung, para suami mereka dicopot dari jabatannya masing-masing ditambah penahanan selama 14 hari. TNI juga melaporkan istri tiga anggotanya ke polisi terkait konten negatif terkait penusukan Wiranto yang diunggah di media sosial (kompas.com, 12/10/2019).

Pemerintah telah dipilih oleh rakyat secara langsung, seharusnya rakyat berhak meluruskan pemerintah ketika dinilai sudah menyimpang. Maka ketika pemerintah bekerja tidak sesuai dengan harapan rakyat dia harus rela dan siap dikritik. Dengan kata lain, dalam negara demokrasi, kritik tersebut wajib dilakukan.

Namun faktanya saat ini ada yang salah dengan eksistensi pemerintah, dimana kritik dianggap berbahaya dan menjadi ancaman bagi kelangsungan sebuah rezim. Banyak produk undang-undang yang lahir mengarah kepada nuansa antikritik. Demokrasi memang akan memunculkan tirani minoritas atas mayoritas. Karena dalam sistem ini, kekuasaan adalah alat kepentingan individu atau kelompok.

Bahkan, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PAN-RB) Syafruddin menegaskan, Aparatur Sipil Negara (ASN) tak boleh mengkritik dan menjatuhkan martabat pemerintah. Syafruddin menanggapi unggahan ASN terkait penusukan Menko Polhukam Wiranto. “Ya silakan, menghadapi hukum,” ujar Syafruddin di Istana Wakil Presiden (TribunKaltim.co,15/10/2019).

Ternyata demokrasi antikritik. Seharusnya, dengan kritik pemerintah lebih mawas diri. Membuka hati dengan membangun komunikasi yang baik dengan rakyat. Namun nuansanya berbeda sekali ketika ujaran kebencian diungkapkan para politisi pendukung rezim, pemilik kepentingan, atau pejabat negara, hukum tidak pernah berlaku bagi mereka.

Demokrasi yang menawarkan kebebasan berpendapat bagi individu, faktanya dalam penerapannya saat kaum muslimin menyampaikan dan menyebarkan ajaran Islam dianggap membahayakan. Seharusnya kaum muslimin meyakini bahwa  demokrasi bukan jalan perubahan menuju Islam. Berjuanglah seperti perjuangan rasulullah yang telah memberikan contoh konkrit saat beliau mendirikan sistem Islam di kota Madinah.

Sangat jauh berbeda ketika sistem Islam diterapkan. Rakyat boleh mengkritik dan menegur penguasa, bahkan boleh ditujukan langsung kepada khalifah yang memimpin. Sehingga penguasa dapat memperbaiki diri dari kebijakan yang diambilnya untuk ditinjau ulang apakah sudah sesuai dengan Islam atau tidak.

Salah satu hadits yang mendorong untuk mengoreksi penguasa, menasihati mereka, adalah hadits dari Tamim al-Dari r.a bahwa Nabi Muhammad SAW, bersabda: “Agama itu adalah nasihat”. Para sahabat bertanya: “Untuk siapa?” Nabi saw bersabda: “Untuk Allah, kitab suci-Nya, Rasul-Nya, pemimpin kaum muslimin dan kaum muslimin pada umumnya” (HR. Muslim, Abu Dawud, Ahmad. Lafal Muslim).

Di dalam Islam mengoreksi penguasa dikenal dengan istilah Muhasabah Lil Hukkam. Dari beberapa buku Sarah Hadist, dijelaskan bahwa hadist ini mengandung penekanan akan pentingnya menasihati penguasa atau pemimpin kaum muslim. Namun nasihat ini harus berbasis pada standar yang sama, yakni akidah dan hukum syara.

Di sisi lain, Rasulullah SAW pun secara khusus telah memuji aktivitas mengoreksi penguasa zalim, untuk mengoreksi kesalahannya dan menyampaikan kebenaran kepadanya: “Sebaik-baik jihad adalah perkataan yang benar kepada pemimpin yang zalim” (HR. Ahmad, Ibn Majah, Abu Dawud, al-Nasa’i, al-Hakim dan lainnya).

Demikianlah perbedaan Islam dengan sistem demokrasi terlebih ketika dipimpin oleh rezim yang represif dan anti kritik seperti saat ini. Sistem Islam bukan sistem anti kritik. Rakyat, siapapun dia terbuka menyampaikan muhasabah atau kritik sebagai kontrol kepada penguasa.

Wallahu’alam bishowab

 

[LS/Ry]

Please follow and like us:

Tentang Penulis