The Real Santri
Oleh: Arina Hikmatul Husna
Reportase – Di bulan September lalu muncul sebuah trailer film di kanal Youtube NU Channel yang membawakan kondisi kehidupan para santri. Film The Santri yang rencananya akan ditayangkan serentak di hari Santri Nasional pada tanggal 22 Oktober 2019 ini menuai kritik di tengah masyarakat. Bagaimana tidak dari durasi tidak lebih 3 menit itu jauh dari gambaran dan kehidupan santri yang sebenarnya.
Oleh karena itu, komunitas remaja muslim “Sahabat Qur’anic” mengadakan acara meet up ke-18 pada hari Ahad, 6 Oktober 2019, bertajuk The Real Santri. Acara yang diadakan di Rumah Inspirasi Perubahan ini dihadiri puluhan peserta dari kalangan remaja baik pelajar maupun mahasiswa.
Ukhti Arin selaku MC sekaligus moderator membuka acara dengan penuh semangat. Beliau menyapa peserta dengan pekikan takbir dan yel-yel khas Sahabat Qur’anic. Sebelum memasuki materi ukhti Rahma melantunkan ayat suci Alquran guna menambah keberkahan dalam acara dan dilanjutkan pembacaan komentar netizen tentang Trailer Film The Santri tersebut oleh MC.
Hadir Kak Dewi Istiharoh, AMd.Kom selaku founder SaQu sebagai pemateri tunggal. Di awal pemaparannya beliau menyampaikan pendapatnya mengenai trailer film The Santri bahwa isinya jauh dari gambaran santri yang sebenarnya. Film itu merusak cintra santri yang berakhlak mulia dan taat kepada Allah dalam segala hal.
Selain merusak citra santri dan pesantren, ada hal yang jauh sangat berbahaya dalam trailer film tersebut yaitu Propaganda Deradikalisasi. Propaganda deradikalisasi tersebut terekam jelas dalam beberapa adegan di film tersebut.
Pertama, banyak adegan khalwat (berdua-duaan) dan ikhtilat (bercampur-baur) antar lawan jenis yang dilakukan oleh pemeran santri dalam film tersebut. Jelas hal tersebut tidak mencerminkan ajaran Islam yang sesungguhnya. Sejatinya Islam sangat menjaga pergaulan antar laki-laki dan perempuan non mahram. Hal tersebut adalah bentuk penjagaan Islam terhadap kemuliaan hambaNya.
Kedua, toleransi yang kebablasan terlihat saat sang pemeran utama muslimah memasuki gereja. Seolah ingin diopinikan bahwa itulah sikap toleran yang harus dilakukan oleh seorang Muslim. Tak ada sekat pemisah dengan agama lain. Bersatu dan berbaur dalam rasa saling menghormati. Padahal jelas Islam melarang seorang Muslim masuk ke tempat peribadatan agama lain. Lakum dienukum waliyadiin. Bagimu agamamu, bagiku agama ku.
Dalam pandangan Islam, toleran terhadap pemeluk agama lain tidak harus mengikuti ajaran agama mereka apalagi ikut-ikutan dalam perayaan ibadah mereka, melainkan kita membiarkan peribadatan mereka dan tidak mengganggunya.
Ketiga, modernisasi Barat. Dalam film tersebut diceritakan bahwa enam orang santri terbaik akan dikirim ke Amerika Serikat untuk bekerja. Ada upaya mengopinikan bahwa Islam “bersahabat” dengan AS. Padahal sebagaimana kita tahu bahwa AS adalah negara yang paling memusuhi Islam.
Sungguh jelaslah bahwa film “The Santri” ini sangat tidak layak menjadi tontonan, karena memuat opini negatif terhadap Islam dan kaum Muslimin. Menjadikan kaum muslimin terjangkit virus SEPILIS yakni Sekulerisme (memisahkan agama dari kehidupan), Pluralisme (menganggap semua agama sama) dan Liberalisme (paham kebebasan).
Kemudian pada puncak pembahasan Kak Dewi menyampaikan bahwa The Real Santri dalam Islam adalah seseorang yang memiliki pemahaman Islam dan berakhlak mulia. Santri adalah orang yang belajar agama dan tsaqofah Islam dan dari santrilah cikal bakal ulama dan muballigh.
Santri harus memiliki beberapa karakter dalam dirinya yaitu pertama, memiliki niat merubah dirinya untuk menjalankan visi dari Allah yaitu beribadah kepada-Nya dan senantiasa terikat dengan aturan-Nya, menjadikan Islam sebagai solusi dan santri sebagai penjaga Islam. Kedua, Mengamalkan apa yang sudah dipahami dari hasil pendidikannya karena tujuan pendidikan mencetak generasi berkepribadian Islam. Ketiga, mengajarkan ilmu yang sudah dipahami. Karena seorang muslim memiliki kewajiban untuk ber amar makruf nahiy munkar (dakwah).
Jadi seharusnya seorang santri menjadi barisan terdepan pribadi muslim yang sesungguhnya, menjadi garda terdepan untuk menyampaikan Islam kepada masyarakat dan menjadi Penjaga Islam terpercaya.
Sebelum acara di akhiri, tim SaQu menampilkan sebuah drama yang berjudul “Kita Punya Batasan” yang menjelaskan bahwa kehidupan antara pria dan wanita dalam islam adalah infishol (terpisah) kecuali dalam 3 keadaan, yakni dalam hal pendidikan, kesehatan dan mu’amalah. Kemudian acara ditutup dengan doa dan muhasabah yang dibacakan oleh Ukhti Riyani.
Wallahu a’ lam biashowab.
[LS/Ry]