Agar Petaka Karhutla tak Terulang Lagi

Oleh: Tety Kurniawati

(Anggota Komunitas Penulis Bela Islam)

 

LenSaMediaNews– Kebakaran hutan dan lahan (karhutla) menjadi momok bagi pemerintah dan masyarakat, terlebih saat musim kemarau. Tahun ini kebakaran hutan kembali terjadi di Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Selatan. Akibat asap yang dihasilkan, Presiden Joko Widodo menyatakan status siaga darurat di keenam provinsi tersebut.

Secara keseluruhan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat area terbakar mencapai 328.724 hektare dengan 2.719 titik panas pada periode Januari hingga Agustus 2019. Angka tersebut diperkirakan akan terus bertambah seiring dengan musim kemarau yang belum berakhir dan hujan yang masih belum turun. (Cnnindonesia.com 18/9/19)

Sedangkan menurut data yang dilansir situs Iku.menlhk.go.id secara harian, pada 16 September 2019 per pukul 15.00 WIB, Indeks Standar Pencemar Udara (ISPU) di Palangka Raya (Kalimantan Tengah), mencapai angka 500. Artinya, kualitas udara di Palangka Raya ada pada level “berbahaya” bagi semua populasi yang terpapar pada waktu tersebut.

Data yang sama menunjukkan hingga Senin pukul 15.00 WIB, kualitas udara di Pekanbaru (Riau), Pontianak (Kalbar) dan Jambi masuk dalam kategori “tidak sehat”, dengan angka ISPU masing-masing 192, 160 dan 129. Dampak kondisi di level ini umumnya penurunan jarak pandang, penyebaran luas debu dan banyak warga masyarakat yang menderita ISPA (infeksi saluran napas akut). Asap juga membuat penerbangan di Bandara Pangsuma di Putussibau, Kapuas Hulu, Kalimantan Barat, dibatalkan pada 15 September 2019. “Penerbangan dibatalkan karena jarak pandang terbatas. Garuda Indonesia bahkan mengumumkan pembatalan jadwal 15 penerbangan pada 16, 17, 18 dan 19 September 2019 karena dampak kabut asap di Kalimantan. (Tirto.id 17/9/19)

 

Biang Keladi Karhutla

Ekspansi perkebunan kelapa sawit besar-besaran sebagai respon atas prospek usaha yang menggiurkan dan diadopsinya agenda hegemoni Climate Change. Mendorong masyarakat maupun korporasi mengkonversi hutan dan lahan mereka menjadi area rumah perkebunan kelapa sawit. Bahkan konversi kawasan konservasi lahan gambut pun tak terhindari.

Pembukaan lahan kelapa sawit baru inilah yang kemudian membuat aksi pembakaran hutan dan lahan marak terjadi oleh korporasi yang memiliki izin konsesi lahan. Biaya murah dan proses yang instan ditengarai menjadi sebab mengapa metode ini jadi pilihan. Meski potensi munculnya dampak negatif tak terhindarkan.

Fenoma yang sejatinya merupakan keniscayaan. Ketika rezim hadir sebagai pelaksana sistem kehidupan sekuler dengan demokrasi-kapitalisnya. Dimana kebijakan yang lahir semata ditujukan untuk melayani kepentingan para pemilik kapital. Tak peduli jika berpotensi merusak lingkungan hingga memakan korban. Alhasil karhutla menjadi problema tahunan.

 

Solusi Tuntas Islam

Islam memandang bahwa semua yang ada di langit dan di bumi adalah milik Allah. Manusia hanya berhak memanfaatkan sesuai dengan ketentuanNya. Tak terkecuali hutan dan lahan yang menurut aturan Islam merupakan harta milik umum.

Sebagaimana sabda Rasulullah Saw, “Kaum muslimin berserikat dalam tiga hal, yaitu air, padang rumput dan api.” (HR Abu Dawud dan Ahmad)

Negara yang berfungsi sebagai raa’in (pemelihara urusan rakyat) wajib bertanggung jawab terhadap tata kelola yang menjamin terpenuhinya hak setiap rakyat untuk memperoleh kemanfaatan atas hutan dan lahan. Tidak ada kewenangan negara untuk memberikan hak konsesi. Karena konsep ini tidak dikenal dalam Islam.

Di lain sisi, Islam mewajibkan pula agar negara menjalankan fungsinya sebagai junnah (perisai). Khususnya perisai pelindung bagi hutan dan lahan yang hakikatnya merupakan harta publik dari agenda hegemoni Climate Change. Karena Islam telah mengharamkan penjajahan dalam segala bentuknya.

Sebagaimana firman Allah, “Allah sekali-kali tidak akan memberikan jalan kepada orang kafir untuk menguasai orang-orang mukmin.” (Q. S. Al Maidah : 141)

Penerapan aturan Islam inilah yang akan menjadi solusi hakiki bagi persoalan menahun karhutla. Maka sudah saatnya kaum muslimin meninggalkan sistem demokrasi-kapitalis yang rusak dan merusak ini. Untuk kemudian beralih kepada sistem Islam yang terbukti selama 13 abad mampu menghadirkan kesejahteraan bagi umat tanpa harus mengorbankan kelestarian alam.

Wallahua’lam bish showab.

 

[Fa]

Please follow and like us:

Tentang Penulis