Standar Ganda Penyelesaian Papua
Seperti ramai diberitakan media, pada hari senin lalu telah terjadi aksi kerusuhan massa yang dilakukan oleh warga Papua sebagai reaksi peristiwa Surabaya. Massa di Manokwari membakar gedung DPRD (Dewan Pimpinan Rakyat Daerah ) Papua Barat dan sejumlah kendaraan. Sedangkan, di Sorong terjadi pembakaran dan penjebolan Lapas Sorong yang mengakibatkan lebih dari 200 narapidana melarikan diri. (Kompas.com, 21/08/2019).
Namun anehnya, pemerintah menanggapi hal itu sebagai peristiwa biasa. Tidak menyebutnya tindakan teroris, anti NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia), anti Pancasila dan lainnya. Padahal sudah jelas, tindakan yang dilakukan bersifat anarkis.
Berbeda halnya jika pelakunya adalah muslim atau kelompok Islam. Jangankan merusak gedung, sebatas membawa bendera tauhid saja sudah dilabeli teroris, anti NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia), anti Pancasila, dan lain-lain. Bukankah ini terbalik? Padahal tidak ada sedikitpun tindakan anarkis yang dilakukan. Tidak ada satupun benda yang dirusak. Tidak ada satupun pihak yang dirugikan secara materi.
Terlihat jelas, ada standar ganda negara dalam menyikapi persoalan Papua. Wajar jika banyak pihak yang menilai, rezim ini anti Islam yang tidak menyukai Islam. Walhasil, pemerintah seharusnya jernih melihat mana yang betul-betul berbahaya untuk negara dan mana yang membawa rahmat untuk negara.
Pemerintah seharusnya tidak terkena Islamophobia dan menyebarkannya pada masyarakat. Karena tidak pernah ada dalam sejarah peradaban Islam, terjadi tindakan anarkis atau penumpahan darah umat manusia, seperti yang dilakukan oleh ideologi Kapitalis. Islam tidak mengajarkan berbuat anarkis sehingga tidak akan mungkin memunculkan kerusakan seperti yang terjadi di Papua.
Sudah saatnya negara sadar dan menyadari bahwa Islamophobia akut yang diidapnya merupakan bagian dari skenario busuk kafir penjajah untuk melemahkan umat islam dan mengokohkan penjajahannya di negeri kaum muslimin, termasuk Indonesia.
Enok Rumhayati
[Lm/Hw/Fa]