Mengusap Air Mata Buruh Migran Indramayu
Oleh: Shafayasmin Salsabila
(Anggota Forum Muslimah Peduli Umat)
LensaMediaNews- “Ingat teman-teman, janji manis itu sudah ciri-ciri mau menipu. Lidah mereka lebih licin dari oli. Janji mereka lebih manis dari madu lebah liar,” tegas Juwarih, ketua Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI). Menanggapi pengaduan 34 buruh migran, setelah ditipu mentah-mentah, oleh sponsor mereka. Tidak tanggung-tanggung, total kerugian mencapai Rp 300 juta. (radarcirebon.com, 22/8/2019).
Bekerja di luar negeri, masih menjadi idaman hati masyarakat Indramayu. Masih dilansir dari laman berita yang sama, Kepala Bidang Penempatan Tenaga Kerja Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Indramayu, Johar Manun membeberkan data pada tahun 2018 kemarin, jumlah buruh migran asal Indramayu ada sebanyak 22.398. Sementara itu, hingga Agustus 2019 ini tercatat sudah ada 12.327 buruh migran. Kebanyakan didominasi oleh wanita yang bekerja di sektor informal.
Hal tersebut tentu menjadi kesempatan emas bagi para oknum licik untuk mengambil kesempatan dalam kesempitan. Modus yang digunakan yakni dengan mengiming-imingi para calon buruh migran untuk bekerja di negara Taiwan ataupun Korea Selatan dengan gaji besar. Siapa kiranya tidak terkiwir-kiwir, jika sudah dibuai dengan aroma gepokan uang. Gelap mata, pendek akal, segala ditempuh agar bisa menaiki burung besi dan menjadi pahlawan devisa. Padahal ujungnya rentan kecewa, akibat menaruh harapan setinggi langit, namun seketika jatuh dan porak poranda. Lalu kemana buruh migran mencari obat luka, penghilang air mata?
Jika ditelusuri secara mendalam, sulitnya mencari penghidupan di negeri inilah muaranya. Mencari kerja, sama seperti mencari jarum dalam tumpukan jerami. Semisal mendapat pekerjaan pun, upahnya jauh dari kata layak, tidak rasional. Sedangkan kebutuhan pokok selalu naik, pendidikan anak serta kesehatannya menuntut dipenuhi. Padahal, siapa kiranya dengan ringan langkah meninggalkan keluarga tercinta dalam waktu relatif lama. Jauh dari rumah, bahasa dan tanah air. Akhirnya nekad mengadu nasib bukan sekadar menuju ibu kota, tapi sampai menyebrangi samudera.
Ditambah arus pemikiran sekularisme, kian menjauhkan masyarakat dari pemahaman agamanya. Tidak tergelitik untuk memastikan hukum syara’ (aturan perbuatan) dari pilihan pekerjaan. Selama menjual keringat, disangka pasti halal. Betapa rugi seseorang, saat di akhirat nanti, tergugu, tak berkutik di hadapan pengadilan Allah Swt.
Maka pertama-tama penting untuk mengetahui terlebih dahulu tentang hukum bekerja sebagai buruh migran, terutama bagi seorang wanita dalam pandangan Islam. Dikutip dari Muslimah News Id, ustaz Shiddiq al-Jawi, menjelaskan setidaknya ada dua alasan, haramnya menjadi Tenaga Kerja Wanita (TKW). Diantaranya, pertama, karena tidak ada mahram atau pun suami yang menyertai. Kedua, keberadaan TKW telah menjadi perantaraan munculnya berbagai hal yang diharamkan syara’. Misalnya, terjadinya pelecehan seksual, perkosaan, kekerasan, pembunuhan, pemotongan upah, dan pungutan liar.
Jika demikian, maka iman akan berontak saat keinginan untuk “terbang” itu datang. Ingatan akan beratnya pertanggungjawaban serta siksa di akhirat, menghempaskan nyali pencarian gepokan uang. Belum lagi, jika berpikir akan tumbuh kembang anak serta keberlangsungan keluarga. Banyak fakta pilu, saat ibu meninggalkan rumahnya. Fenomena anak broken home, perselingkuhan, inses, bunuh diri dan masalah sosial lainnya.
Lalu bagaimana caranya agar dapat menyambung hidup dengan tetap berada di antara keluarga? Di sinilah tugas kolektif menuntut ditunaikan. Sudah Allah Swt tegaskan bahwa jika penduduk suatu negeri beriman dan bertakwa, niscaya pintu keberkahan dibuka. Kesempitan hidup sirna. Catatannya hanya satu, hiduplah di bawah ketundukan terhadap aturan Allah saja.
Islam tidak mewajibkan para ibu bekerja. Menempatkan negara sebagai penjamin keberlangsungan hidup warganya. Dengan membuka peluang mencari nafkah bagi para ayah. Mengaktifkan jalur wali. Hingga memenuhi kebutuhan pokok (sandang, pangan papan) dan kebutuhan dasar, seperti pendidikan, kesehatan dan keamanan.
Apabila kesempatan untuk bekerja mudah di dapat dan sistem pengupahan diatur dengan seadil-adilnya, ditambah lagi dengan pengokohan keimanan terkait rezeki, niscaya syahwat untuk menjadi buruh migran akan pudar. Lahan basah bagi para oknum sponsor pun, dengan sendirinya akan mengering. Tidak akan ada lagi yang mengadu menjadi korban selanjutnya. Air mata berganti senyuman. Tidakkah kita rindu hidup dalam sistem Islam?
Wallahu a’lam bish-shawab.
[LS/Ry]