Pemindahan Ibukota, untuk Siapa?

Oleh: Nor Aniyah, S.Pd
(Pemerhati Masalah Sosial dan Generasi)

 

LensaMediaNews- Ada satu sisi menarik ketika Deputi Bidang Pengembangan Regional Kementerian PPN, memberikan penjelasan perpindahan Ibu Kota Negara (IKN) dari sisi lingkungan hidup. Dikatakan tema besar pemindahan ibu kota baru yakni forest city, bukan lagi membangun taman kota tapi didesain sebagai kota hijau.

Mantan Menteri Lingkungan Hidup, yang hadir di acara Dialog menambahkan bahwa Kalimantan Selatan sangat memenuhi kriteria kesiapan aspek lingkungan yang telah dipaparkan. Kendati demikian ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, yaitu kebakaran hutan dan lahan (banjarmasin.tribunnews.com).

Dalam Dialog nasional pemindahan ibu kota negara yang bertema Kalimantan untuk Indonesia Menuju Ibu Kota Masa Depan: “Smart, Green, Beautiful, dan Sustainable” tersebut, Rektor Universitas Lambung Mangkurat (ULM) menyatakan Kalsel sanggup menjadi ibu kota negara, berkaca pada keberhasilan pembangunan 7 gedung bangunan pendidikan baru ULM dalam waktu yang relatif singkat (ulm.ac.id).

Wacana pemindahan ibukota terus bergulir. Berbagai sisi untung dan rugi pemindahan ibukota bermunculan dari para pengamat. Kalsel pun menjadi salah satu nominasi daerah untuk ibukota Indonesia yang baru. Benarkah pemindahan ibukota demi kepentingan rakyat? Ataukah ada kepentingan lain yang bermain di dalamnya?

Terkait dana, dikutip dari Tempo.co, diperkirakan menelan sekitar Rp466 triliun dan tidak semua berumber dari uang negara APBN saja. Akan tetapi juga berasal dari perusahaan pelat merah (BUMN), dari swasta yang dikerjasamakan oleh pemerintah (KPBU/Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha), murni dari pihak perusahaan swasta, serta pemanfaatan aset pemerintah pusat untuk menekan biaya (republika.co.id).

Alan Gilbert dari University College London dalam tulisannya yang berjudul Moving the Capital of Argentina, menjelaskan bahwa banyak negara yang memindahkan ibu kota negaranya dengan motivasi citra. Brasilia misalnya, dibangun guna meningkatkan fokus Brasil pada wilayah-wilayah yang jarang penduduk. Namun, ambisi-ambisi yang berlebihan dianggap menghantui kota-kota tersebut. Brasilia, yang direncanakan untuk hanya 500 ribu penduduk, kini memiliki 2,2 juta pendatang tinggal di kota-kota sekitar.

Akibatnya, pemisahan kelas dan kelompok masyarakat Brasil semakin kentara di kota baru tersebut. Hal ini membawa dampak buruk, seperti meningkatnya kriminalitas dan kekerasan. Selain dampak sosial, anggaran-anggaran yang berlebihan seperti di Brasilia dan Abuja mengambil porsi yang cukup besar dan membuat perekonomian negara-negara tersebut memburuk.

Keputusan untuk rencana pemindahan ibu kota ini sebenarnya masih dipertanyakan banyak kalangan. Karena perlu memperhatikan berbagai aspek hingga puluhan tahun ke depan. Menurut konsep sistem Kapitalisme-liberal, daerah-daerah yang bersifat komersial mungkin akan dijual kepada investor. Hal ini tentu akan makin menyuburkan penjajahan para kapitalis menguasai negeri.

Menurut pandangan Islam, Ibukota negara merupakan daerah yang sangat penting. Karena kedudukan Khalifah dan seluruh aktivitas kenegaraan akan terpusat di sini. Termasuk perjanjian antar negara lain pun yang akan dilakukan oleh Khalifah. Tak hanya sisi strategis secara ekonomi yang menjadi pertimbangan, namun juga politik dan pertahanan keamanan. Ibukota merupakan representatif posisi negara di mata dunia.

Uniknya walaupun pernah beberapa kali pindah ibu kota, Kekhilafahan Islam tetap menjadi adidaya hingga 13 abad. Sejarah peradaban Islam mencatat sedikitnya empat kali perpindahan ibukota negara. Namun alasan utama saat itu semua adalah politik. Misalnya, perpindahan ibukota Khilafah saat kebangkitan Bani Abbasiyah dari Damaskus ke Baghdad.

Modal dasar kota Baghdad adalah lokasinya yang strategis dan memberikan kontrol atas rute perdagangan sepanjang sungai Tigris ke laut dan dari Timur Tengah ke Asia. Tersedianya air sepanjang tahun dan iklimnya yang kering. Namun modal dasar tadi tak akan efektif tanpa perencanaan luar biasa. Empat tahun sebelum dibangun, tahun 758 M al-Mansur mengumpulkan para surveyor, insinyur dan arsitek dari seluruh dunia untuk membuat perencanaan kota.

Setiap bagian kota yang direncanakan untuk jumlah penduduk tertentu dibangunkan masjid, sekolah, perpustakaan, taman, industri gandum, area komersial, tempat singgah bagi musafir, hingga pemandian umum yang terpisah antara laki-laki dan perempuan. Bahkan pemakaman umum dan tempat pengolahan sampah juga tidak ketinggalan.

Perencanaan kota juga memperhatikan aspek pertahanan terhadap ancaman serangan. Baghdad meraih zaman keemasannya saat era Khalifah Harun al Rasyid pada awal abad 9 M. Demikianlah dalam Islam, falsafah ibu kota baru adalah tanggung jawab negara untuk memakmurkan semua rakyatnya di setiap jengkal wilayahnya dan menjaga daerah perbatasan dari musuh.

Wallahu a’ lam biashowab.

 

[LS/Ry]

Please follow and like us:

Tentang Penulis