Impor Rektor: Benarkah Solusi bagi Pendidikan?

Oleh: Iva Oktaviyani

 

LensaMediaNews- Rencana Menteri Riset dan Pendidikan Tinggi (Menristekdikti) untuk mengundang akademisi asing mengisi jabatan rektor dan dosen di perguruan tinggi lokal, menjadi polemik. Para akademisi pun mengingatkan, persoalannya tidak sesederhana yang dibayangkan. Menristekdikti M. Nasir mengatakan ada wacana merekrut rektor asing untuk memimpin Perguruan Tinggi Negeri (PTN) di Indonesia agar bisa menembus peringkat 100 besar dunia. Nasir bahkan menyebut sudah ada lampu hijau dari Presiden Joko Widodo (Jokowi) terkait usulan tersebut (M.detik.com/08/08/2019).

Wacana ini digulirkan karena ada pertimbangan berupa ranking perguruan tinggi di Indonesia yang berada di jajaran bawah ranking perguruan tinggi sedunia. Menristekdikti menilai rektor lokal tak mampu memimpin PTN naik ke ranking atas dunia apalagi dengan adanya pengaruh pasar bebas yang sudah masuk ke ranah pendidikan. Harapannya, rektor asing sudah bisa datang dan memimpin PTN di Indonesia mulai tahun 2020 nanti. Karena itulah saat ini ada sejumlah peraturan yang perlu dirombak agar rektor asing tersebut dapat memimpin PTN di Indonesia, walaupun hanya PTN terpilih saja yang akan dipimpin rektor asing.

Padahal memajukan perguruan tinggi tidak cukup hanya dengan mengganti pimpinannya saja. Banyak perguruan tinggi di berbagai negara yang memiliki kemampuan meraih reputasi tinggi di dunia internasional, juga berkaitan dengan anggaran penelitian yang berlimpah. Dengan dana yang cukup, mereka mampu menghasilkan penelitian yang baik dan dipublikasi di jurnal-jurnal ilmiah bereputasi tinggi. Sayangnya, di Indonesia justru sebaliknya. Untuk mengatasi terbatasnya dana penelitian, sebagian perguruan tinggi di Indonesia bahkan bekerja sama dengan perguruan tinggi luar negeri.

Dari sisi penggajian, juga tentu akan menimbulkan persoalan. Rektor asing tentu menuntut gaji yang lebih tinggi dibanding akademisi setempat. Hal itu dikhawatirkan akan menimbulkan kesenjangan. Padahal, dosen adalah motor penggerak utama perguruan tinggi. Sehingga pemerintah tentu juga harus menaikan gaji dosen lokal hingga setara dengan dosen asing.

Padahal apabila keinginan dari mengimpor rektor dan dosen adalah untuk memacu pendidikan, maka hal yang seharusnya dilakukan bukan justru mengimpor, melainkan dengan mengembangkan sumber daya manusia yang ada. Negara perlu memfasilitasi dosen lokal agar mampu mengajar dengan kompeten dan maksimal. Bahkan negara juga perlu mengevaluasi apakah benar output dari pendidikan telah mampu memperbaiki peradaban ini, atau justru menjadi kecerdasan yang membahayakan negeri.

Bukankah yang menjadi koruptor itu cerdas? Namun kecerdasannnya justru digunakan untuk memakan jerih payah rakyat. Bukankah yang mengeksploitasi kekayaan alam Indonesia itu cerdas? Namun kecerdasannya justru digunakan untuk merusak bumi karena ekploitasi yang di luar batas.  Dari sini kita perlu kembali merenung, apakah benar negeri kita telah berdaulat dalam sumber daya manusia. Atau justru bukan sumber daya manusianya yang tidak berdaulat, namun negaralah yang telah terjebak pada sistem komersialisasi. Sehingga semua tidak ubahnya hanya bernilai materil, termasuk pada pendidikan.

Islam sesungguhnya menjadikan pendidikan sebagai kebutuhan pokok bagi seluruh manusia yang wajib dipenuhi oleh negara. Dimana kurikulum pendidikannya wajib berlandaskan akidah Islam. Tujuan pendidikan dalam Islam adalah membentuk kepribadian Islam serta membekalinya dengan berbagai ilmu dan pengetahuan yang berhubungan dengan kehidupan. Sehingga, tidaklah mengherankan jika pada saat pendidikan Islam diterapkan mampu menghasilkan peradaban yang gemilang.

Karenanya untuk meningkatkan pemahaman keagamaan umat, para khalifah mendirikan berbagai lembaga pendidikan seperti Nizamiyah di Baghdad, Al-Azhar di Mesir, Al-Qarawiyyin di Fez, Maroko, dan Sankore di Timbuktu, Mali, Afrika. Masing-masing lembaga ini memiliki sistem dan kurikulum pendidikan yang sangat maju ketika itu. Dari beberapa lembaga itu berhasil melahirkan tokoh-tokoh pemikir dan ilmuwan muslim yang sangat disegani. Misalnya Al-Ghazali, Ibnu Rusyd, Ibnu Sina, Ibnu Khaldun, Al-Farabi, Al-Khawarizmi, dan Al-Ferdowsi.

Sayangnya sistem pendidikan Islam ini hanya bisa diterapkan dalam naungan Daulah Khilafah, bukan yang lain. Maka sudah selayaknya, kita berusaha untuk mengembalikan Islam ke tengah-tengah umat agar sistem Islam dapat diterapkan.

Wallahu a’lam bishshawab.

[LS/Ah]

Please follow and like us:

Tentang Penulis