Penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPPU) terkait pelarangan eks narapidana korupsi mencalonkan diri sebagai kepala daerah pada Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2020 kompak diusulkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (1/8). Mengingat, waktu untuk merevisi Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah (UU Pilkada) sudah tidak memungkinkan lagi. Hal ini diharapkan bisa menjadi terobosan untuk mengatasi darurat korupsi kepala daerah di berbagai wilayah.

Sebelumnya, pada pemilu 2019 lalu, KPU menolak beberapa bakal caleg yang merupakan mantan narapidana korupsi. Akan tetapi, setelah ada uji materi di Mahkamah Agung (MA), regulasi itu dibatalkan dengan dalih kemanusiaan. Alhasil, para eks koruptor pun kembali mencalonkan diri. Mereka terpilih, namun lagi-lagi jatuh ke lubang yang sama. Tertangkap menggelapkan uang negara. Motifnya beragam. Ada yang karena harus mengembalikan pinjaman selama masa kampanye, ada pula yang memang tak kuat keyakinan.

Berkaca dari kejadian ini, tak bisa dinafikan, topografi sistem kapitalisme cenderung mendorong para elite politik untuk bermain-main dengan amanah. Bermain-main dengan kekuasaan. Betapa tidak, terlalu banyak kasus korupsi kepala daerah yang terus berulang. Bak jamur di musim penghujan.

Oleh karena itu, seyogianya ada dasar hukum yang kuat. Selevel dengan syariat. Tidak sekadar revisi UU atau PERPPU buatan manusia yang sifatnya terbatas. Sebab, berkaca dari pengalaman uji materi soal larangan koruptor ikut pemilu, harus ada jalan keluar jika dasar hukumnya dibatalkan lewat uji materi.

 

Ilmi Mumtahanah
Konawe, Sulawesi Tenggara

 

[LS/Hw]

Please follow and like us:

Tentang Penulis