Power Sharing, Sisi Gelap Demokrasi

Oleh: Idea Suciati, S.S
(Pemerhati Masalah Sosial Poltik dan Pegiat Literasi Komunitas Menulis Revowriter)

 

LensaMediaNews- Setelah panas dalam penyelenggaraan pemilu, kemudian ketuk palu MK, nampaknya aroma power sharing (bagi-bagi kekuasaan) di kalangan elit politik mulai tercium. Dengan bertemunya Pak Prabowo dan Bu Megawati, sulit bagi publik untuk tidak menilai pertemuan ini adalah bermuatan politis dan beragendakan bagi-bagi kursi kekuasaan (republika.co.id,24/7/2019).

Mirisnya, kejadian ini dilakukan diatas kekecewaan publik atas penyelenggaraan pemilu yang sarat dengan dugaan kecurangan. Juga diatas ratusan nyawa petugas KPPS yang gugur. Belum lagi diatas nyawa korban tragedi 21-22 Mei.

Kekuasaan adalah amanah dari rakyat. Bukan kue untuk dibagi-bagi demi kepentingan golongan. Rakyat menginginkan pemerintahan yang menggunakan kekuasaannya untuk fokus berpihak kepada rakyat. Namun, sistem demokrasi meniscayakan itu terjadi.

Dalam teori demokrasi memang disebutkan bahwa prinsip demokrasi adalah dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat. Sebagaimana dijelaskan oleh Presiden Amerika Abraham Lincoln. Namun teori ini telah berubah sejalan dengan waktu, bersamaan dengan perkembangan sistem demokrasi di banyak negara.

Salah satu pilar demokrasi adalah prinsip trias politica yang membagi ketiga kekuasaan politik negara (eksekutif, yudikatif dan legislatif) untuk diwujudkan dalam tiga jenis lembaga negara yang saling lepas (independen) dan berada dalam peringkat yg sejajar satu sama lain. Sayangnya, pembagian kekuasaan dengan konsep ini malah mengakibatkan adanya politik transaksional dan power sharing diantara masing-masing lembaga. Faktanya, saling independen itu tidak ada.

Sistem demokrasi yang dianggap sebagai sistem yang modern, ternyata dikritik di negeri asalnya, Yunani. Aristoteles (348-322 SM) menyebut demokrasi sebagai mobocracy atau pemerintahan segerombolan orang. Dia menyebutkan demokrasi sebagai sebuah sistem bobrok karena pemerintahan dilakukan oleh massa, demokrasi rentan akan anarkisme. Plato (472-347 SM) mengatakan liberalisasi adalah akar demokrasi sekaligus biang petaka mengapa negara demokrasi akan gagal selamanya.

Pendapat keduanya kita saksikan benar terjadi. Power sharing diantara elit politik menjadi bukti sisi gelap demokrasi. Jangan tanya bagaimana nasib rakyat. Rakyat hanya menjadi stempel legalisasi kekuasaan.

Sejarah Islam layak dijadikan contoh bagaimana gambaran yang ideal tentang menjalankan kekuasaan. Khalifah Umar bin Khattab demikian takut dengan amanah kekuasaan yang dipikulnya. Sehingga seluruh waktunya dicurahkan untuk rakyat, hampir tak ada waktu untuk dirinya. Bahkan sampai memanggul sendiri karung beras untuk rakyatnya yang miskin. Ini buah dari ketakwaan, ketakutan terhadap Allah SWT, bahwa kekuasaan yang dipikulnya amat berat pertanggungjawabannya kelak di akhirat.

Contoh ideal menjalankan kekuasaan dalam Islam, tidak hanya tergantung pada individu pemimpinnya, melainkan juga pada sistem pemerintahannya. Pemimpinnya harus individu yang bertaqwa dan sistemnya pun harus sistem Islam, sistem Khilafah.

Sistem khilafah adalah sistem yang menjadikan hukum Islam secara Kaffah. Meskipun kekuasaan di tangan umat, namun kedaulatan ada ditangan Syara’ (Allah SWT). Kekuasaan dijalankan untuk menerapkan hukum syara, bukan untuk melayani kepentingan golongan-golongan. Sehingga, tidak bisa kekuasaan untuk dibagi-bagi. Inilah sisi terang Khilafah yang akan menggantikan semua sisi gelap Demokrasi.

Wallahu a’lam biashowab.

 

[LS/Ry]

Please follow and like us:

Tentang Penulis