Propaganda Liberalisme Berbalut Sex Education
Oleh : Safitri Fathin Rahayu
Paham liberalisme saat ini terasa legit diolah sedemikian rupa hingga bisa ditelan oleh generasi muslim. Salah satunya melalui film. Berbicara drama, terlebih tentang percintaan memang tak ada habisnya. Karena jamak orang merasakan, tentu menarik ketika realita itu dipertontonkan. Setelah ramai film “Dilan” dan “Ku Cumbu Tubuh Indahku”, Belum lama ini film bertajuk percintaan kembali tayang. Dua garis biru, film yang rilis tanggal 11 juli 2019 kini sedang hangat diperbincangkan kawula muda.
Kabarnya ini adalah film yang memiliki muatan edukasi dalam hal sex. Sinema ini layaknya film remaja lain, bercerita tentang sepasang remaja SMA yang menjalin hubungan asmara. Dimana dari kesalahan hubungan yang dijalin, muncul kesalahan baru yang lebih fatal. Benih janin yang tak diinginkan tumbuh. Dari sini keduanya dituntut untuk mempertanggung jawabkan ‘kecelakaan’ yang menimpa mereka. (cnnindonesia.com, 17/7/19)
Sebelum rilis, muncul kontroversi dari sekelompok orang yang peduli generasi. Mereka adalah Gerakan Profesionalisme Mahasiswa Keguruan Indonesia (Garagaraguru) yang menggagas petisi berjudul “Jangan Loloskan Film yang Menjerumuskan, Cegah Dua Garis Biru Sebelum Menikah.” (change.org, 1/5/19)
Mereka menilai bahwa ada beberapa scene dalam trailer film Dua Garis Biru yang menunjukan situasi pacaran pelajar di luar batas. Dan tontonan ini bisa memengaruhi masyarakat, khususnya remaja untuk meniru apa yang digambarkan dalam film. Dalam hal ini hubungan seksual di luar nikah. (detik.com, 1/5/19)
Benarkah Ada Sex Education di Dalamnya?
Kita tak menutup mata akan niat baik Gina S Noer sebagai sutradara dan penulis, yang ingin memberikan edukasi sex kepada para remaja. Akan tetapi bagaimana mungkin edukasi tersampaikan dan menjadi pemahaman yang benar jika bercampur dengan paham kebebasan yang memberi iming-iming kesenangan duniawi?
Gina bermaksud menyampaikan pesan agar para remaja tidak terjerumus free sex dan pernikahan dini. Karena hal itu dianggap merugikan banyak pihak. Hanya saja dalam film tersebut tidak menyampaikan cara agar remaja tak terjebak dalam pergaulan bebas dan agar remaja siap menjadi orang tua yang baik.
Memang di dalamnya menunjukkan dampak dari tindak asusila. Seperti tekanan dari keluarga, resiko hamil usia muda, sampai repotnya menjadi orang tua di usia sekolah. Namun dengan menunjukkan adegan pacaran dan resikonya tidak otomatis bisa mencegah remaja untuk tidak berzina. Justru memungkinkan mereka lebih lihai agar perzinahannya tak meninggalkan bekas (hamil). Karena resiko-resiko yang dipaparkan tak bisa menahan diri ketika nafsu sudah menguasai.
Tanpa dipampangkan adegan-adegan yang tak pantas itu, para remaja sudah melihat disekelilingnya bahwa dari pacaran bisa lahir bayi yang tak diinginkan. Mereka tenggelam dalam free sex bukan karena tak tahu dampaknya. Tapi lebih karena kebebasan yang dipropagandakan sehingga menjadi gaya hidup.
Selain itu tugas orang tua bukanlah membiarkan anaknya pacaran lalu memaafkan dan menikahkan anaknya ketika hamil di luar nikah. Karena itu bukan suatu bentuk tanggung jawab orang tua atas amanah anak. Seyogianya tiap orang tua memberikan pendidikan Islam dan pendampingan intens kepada anak remaja agar mereka tak masuk dalam pergaulan yang salah.
Sex Education Dalam Islam
Jika memang serius ingin mengedukasi para remaja, pendidikan Islam adalah solusinya. Mulai dari membentuk kepribadian Islam dengan menanamkan aqidah yang benar, juga memahamkan bagaimana pola pikir dan pola sikap yang Islami.
Seperti dengan menumbuhkan rasa malu dan menjaga pandangan. Sehingga baik remaja pria atau wanita tidak saling mengumbar pesona. Kemudian penting juga memahamkan batasan aurat, karena zina berawal dari memandang aurat (selain mahrom) yang beruntun pada aktivitas lain yang terlarang.
Tak kalah penting juga menunjukkan batasan interaksi antara pria dan wanita yang bukan mahromnya. Dalam Islam hukum asal kehidupan pria dan wanita (bukan mahrom) adalah terpisah kecuali ada keperluan syar’i. Jika ini menjadi pemahaman yang tertanam di tengah kalangan generasi muda, tentu free sex, aborsi, pernikahan tanpa persiapan bisa tercegah.
Selain itu para remaja wajib mengetahui apa saja kewajiban dan hak suami istri. Apa tugas suami, bagaimana seharusnya memperlakukan istri dengan baik. Begitu juga sebaliknya dengan istri. Inilah sex education yang sebenarnya.
Edukasi ini pun bisa disampaikan melalui film, yang dianggap sebagai sarana efektif untuk menanamkan suatu pemahaman ke dalam benak masyarakat.
Karena sudah seharusnya pesan yang disampaikan dalam suatu film adalah pesan yang benar dengan cara yang benar pula. Yaitu dengan memperhatikan standar syara’ dalam mengatur segala hal. Seperti menjaga agar tak terjadi ikhtilat, berpegangan tangan dengan lawan jenis, juga menjaga interaksi-interaksi lain antar pria dan wanita yang dibatasi dalam Islam. Dengan demikian pesan tersampaikan tanpa menodai isi pesan itu sendiri. [RA/WuD]