Jangan Ada Narkoba di Balik Tawa Kita
Oleh: Kunthi Mandasari*
Dunia hiburan kembali diguncang prahara. Untuk ke sekian kalinya ada artis terjerat kasus narkoba. Pada Jumat (19/7) polisi menangkap komedian Nunung dan suaminya Iyan Sambiran atas dugaan kasus narkoba. Nunung ditangkap bersama suaminya di rumahnya di kawasan Tebet, Jakarta Selatan. Saat penggeledahan, polisi menemukan barang bukti narkotika jenis sabu seberat 0,36 gram (www.detik.com, 22/07/2019).
Siapa sangka wajah yang kerap kali menghiasi layar kaca. Dengan penampilan khas yang sering mengundang tawa. Kehadirannya kerap kali dinantikan untuk melepas penat setelah lelah seharian. Dengan kekayaannya yang melimpah ruah, rumah megah dan segala kemewahan dia punya. Namun siapa sangka tawa yang sering disuguhkan hanya ilusi belaka. Untuk mendapatkannya harus menggunakan narkoba sebagai pendongkraknya.
Mengingat jadwal kerja di luar batas kemampuan yang dipunya sebagai wanita. Ketakutan akan masa depan anak-anaknya menghantui di pelupuk mata, sehingga banting tulang mati-matian dia upayakan. Padahal rezeki itu telah digariskan, tak akan pernah tertukar. Hanya saja cara yang digunakan itulah yang kelak akan dihisab. Apakah dengan cara yang dihalalkan atau diharamkan?
Berawal dari coba-coba hingga akhirnya menjadi pencandu narkoba. Memang sesaat setelah mengkonsumsi efeknya luar biasa, yang awalnya penakut bisa jadi pemberani. Yang awalnya minder bisa jadi percaya diri, untuk sesaat semua beban masalah bisa terangkat. Namun hanya sesaat, setelah itu akan kembali lagi. Karena memang menggunakan narkoba hanya menjadi pelarian bukan penyelesaian sebuah masalah.
Semakin maraknya pengedaran dan penggunaan narkoba tidak lepas dari efek penerapan sistem sekuler. Sekuler menjadikan banyak orang lalai akan tujuan hidup, hari akhir dan dasyatnya hari pembalasan. Sistem sekuler menjadikan orang sebagai pemuja kebebasan dan akibatnya suburlah pandangan yang menganggap kesenangan dan kenikmatan materi sebagai tujuan utama dalam hidup (hedonisme).
Halal atau haram bukan standar hidup mereka, pahala ataupun dosa bukan lagi menjadi perkara. Beginilah ketika kita hidup dalam sistem sekuler. Jauh dari nilai-nilai agama. Gaya hidup hedonis menjadi tujuannya. Pemuja kesenangan semu belaka. Padahal mengejar kesenangan dunia itu bagaikan meminum air garam. Tidak akan ada habisnya. Sayangnya budaya hidup sekuler telah mengakar. Apalagi bagi mereka yang berkecimpung di dunia hiburan.
Dunia yang sering menyilaukan mata. Jika tak kuat iman, akan mudah terperdaya dan terbawa arus pergaulan yang kelewat batasan. Apalagi kehidupan mereka yang jadi tontonan kerap kali dijadikan tuntunan. Tanpa melihat apakah ini sesuai dengan perintah Allah atau tidak. Padahal, bahagia dalam Islam itu sederhana. Tanpa perlu narkoba untuk menjadi penunjangnya. Yaitu cukup dengan taat terhadap aturan sang pencipta.
Melakukan ibadah mahdhoh, berzikir, bersedekah, datang ke majelis ilmu, tilawah Alquran dan juga mengamalkan isinya. Serta mengikuti cara hidup Rasulullah yakni menjadikan Islam sebagai jalan hidup (Way of Life). Penerapannya pun bukan hanya dalam ranah pribadi tetapi juga dalam kehidupan sosial dan bernegara. Sehingga saling bersinergi untuk mewujudkan kebahagiaan hakiki yakni meraih ridho Illahi. Wallahu ‘alam bishowab. (LN/WuD)
*Member Akademi Menulis Kreatif