Jangan Jadikan Rakyat Objek Pemalakan
Oleh: Arsanti Rachmayanti
Bukan lautan hanya kolam susu. Kail dan jala cukup menghidupimu. Tiada badai tiada topan kau temui. Ikan dan udang menghampiri dirimu. Orang bilang tanah kita tanah surge. Tombak, kayu dan batu jadi tanaman
Sangat luar biasa tanah air kita yang digambarkan lewat lirik lagu group Koes Plus diera tahun 70an itu yang menggambarkan kekayaan alam kita yang melimpah bahkan hanya dengan kail dan jala mampu menghidupi masyarakatnya. Memang benar negeri ini kaya akan sumber daya alam. Namun mengapa hasil kekayaannya tidak dinikmati oleh seluruh rakyatnya?
Bahkan rakyat sendiri yang harus bersusah payah membiayai dan menghidupi para penguasanya? Penguasa bukan lagi sebagai pengelola dan mengurusi rakyatnya tapi sebagai penikmat dari fasilitas yang diberikan rakyatnya. Dengan memalak rakyat atas nama pajak. Bahkan kata pajak dibuatkan slogan agar tak tampak ngeri oleh masyarakat. Slogan ini membius rakyat agar suka ataupun tidak, mampu ataupun tidak harus membayar pajak. Warga negara yang baik adalah warga negara yang taat pajak. Tak bayar pajak apa kata dunia?
Beberapa waktu lalu mencuat kabar akan diberlakukan pajak nasi bungkus, kantong plastik, pajak pempek, hingga naiknya tarif bea materai dari Rp6.000 menjadi Rp10.000 (gelora.com, 7/7/2019). Melihat fakta ini lagi-lagi rakyat hanya bisa mengelus dada atas kebijakan ini, mau mengeluh ataupun menjerit tak akan berpengaruh. Begitulah negeri kapitalis, negeri yang memanjakan pengusaha dan para investor. Rakyat yang diperas tenaganya seperti budak. Rakyat hanya dilirik jika akan pemilu dengan sekedar janji – janji yang hanya tinggal janji tanpa realisasi.
Sangat ironi memang disaat negeri yang kaya sumber daya alam tapi pengelolaannya diserahkan pada investor swasta dan asing maka pasti bukan untuk kemakmuran rakyat tapi untuk kemakmuran para investor dan kroninya.
Islam adalah Ad-din (agama) sebagai seperangkat aturan yang punya segudang solusi atas segala permasalahan manusia baik yang lahir dari individu itu sendiri maupun skala yang lebih besar lagi yakni dalam hal pengaturan negara. Di dalam Islam pun telah mengatur bahwa pemasukan negara bersumber dari fai’, ghanimah, anfal, kharaj, jizyah dan pemasukan dari hak milik umum dengan berbagai bentuk, pemasukan dari hak milik negara, usyur, khumus, rikaz, tambang dan zakat. Adapun pajak adalah sesuatu yang tak perlu diwajibkan pada seluruh rakyat.
Pajak dalam Islam dipungut jika kas negara dalam keadaan kosong. Dan pajak tidak ditarik pada seluruh warga negara, tetapi hanya khusus orang – orang kaya saja dari sisa nafkah (kebutuhan hidup) mereka dari kaum muslimin saja, jadi non muslim tidak boleh dipungut pajak atas mereka. Pajak ini hanya dipungut berdasarkan kadar kebutuhan belanja negara. Pemungutan pajak ini pula tidak dilakukan terus menerus.
Berkaca dari Khalifah Umar bin Khattab yang tidak membebani rakyatnya. Justru beliau lah yang menjadi pelayan bagi rakyatnya. Yang memanggul sendiri sekarung gandum di tengah malam untuk membawakan salah seorang ibu yang memasak batu untuk menghibur anaknya yang sedang kelaparan. Sebagaimana juga Khalifah Umar bin Abdul Aziz yang bekerja dan berfikir keras sehingga hanya 2,5 tahun di masa pemerintahannya tak ada satupun warganya yang berhak menerima zakat.
Inilah bentuk amanahnya seorang pemimpin dalam mengurusi warganya agar terpenuhi seluruh kebutuhan rakyatnya bukan malah menyusahkan dan memalak rakyat sendiri. Wallahu a’lam bishowab. [RA/WuD]