Di Balik Kelamnya Hedonisme
Oleh: Rut Sri Wahyuningsih
(Member Komunitas Menulis Revowriter dan WCWH)
LenSaMediaNews– Menyusul deretan panjang artis tanah air yang terjerat kasus narkoba, Nunung Srimulat atau yang biasa disapa Nunung, artis dengan nama asli Tri Retno Prayudati ini ditangkap bersama suaminya terkait kasus dugaan penyalahgunaan narkotika berjenis sabu, pada Jumat (News.detik.com, 19/7/2019).
Dalam penangkapan itu, polisi mengamankan paket sabu seberat satu klip sabu 0,36 gram, alat hisap sabu alias bong, empat buah ponsel dan 37 lembar uang pecahan Rp 100 ribu rupiah. Berdasarkan hasil pemeriksaan sementara, Nunung positif mengonsumsi sabu-sabu dan diduga telah membeli sabu-sabu sebanyak sepuluh kali dalam tiga bulan terakhir.
Selalu yang menjadi alasan para artis dekat dengan narkoba adalah bisa menunjang performa mereka agar tetap merasa lebih fit. Mengingat mereka adalah publik figur maka harus tampak sempurna dihadapan fansnya, terkhusus bagi yang membeli jasanya. Dengan begitu dapur tetap bisa mengepul.
Sabu ini masih saja menjadi primadona. Kristal metamfetamin yang terkandung di dalamnya, bekerja dengan merangsang susunan saraf pusat yang efeknya membuat pengguna akan merasakan euforia, perubahan mood, dan percaya diri. Karena meskipun mabuk namun penggunanya masih tetap “waras”.
Betapa rapuhnya mereka yang bekerja di dunia entertain. Karena meskipun terlihat selalu bahagia dan tak kurang suatu apapun, namun pada hakekatnya mereka telah membohongi diri sendiri. Jelas para artis itu berada pada tekanan gaya hidup yang keji, memaksa mereka hidup dijalur yang dikehendaki para kapitalis.
Selalu dalihnya mumpung masih laris, tak ada waktu istirahat yang memadai, apalagi mengingat Penciptanya. Gaya hidup hedonis, menjadi pilihan karena itulah yang termudah hari ini untuk mendapatkan harta. Manusia tak ubahnya jadi mesin uang jika itu di alam kapitalisme.
Parahnya, hukum di Indonesia ini tak adil. Dalam ketentuan pidana dari Pasal 111 sampai Pasal 126 UU Narkotika menyebutkan jika terduga pelaku terlibat dalam mengedarkan, menyalurkan, memiliki, menguasai, menjadi perantara, menyediakan, menjual-belikan, melakukan ekspor-impor narkotika tanpa izin pihak berwenang, maka dapat dikenakan sanksi pidana penjara antara 2 (dua) sampai 20 (dua puluh) tahun, bahkan pidana mati, atau pidana penjara seumur hidup, tergantung dari jenis dan banyaknya narkotika yang diedarkan, disalurkan, atau dijual-belikan.
Namun dalam Pasal 54 UU Narkotika mengatur bahwa seorang pengguna narkotika harus diposisikan sebagai korban peredaran narkotika agar bisa direhabilitasi, sehingga memang sudah seharusnya wajib direhabilitasi agar korban dapat pulih kembali, baik secara medis maupun sosial.
Indikator utama pengguna dapat direhabilitasi adalah jumlah barang bukti yang ditemukan tidak melebihi jumlah tertentu. Jika barang bukti yang ditemukan polisi adalah narkotika jenis sabu-sabu yang tidak melebihi satu gram dan hanya digunakan untuk konsumsi pribadi, bukan untuk diedarkan atau dijual-belikan.
Maka sesuai dengan angka 2 huruf b Surat Edaran Mahkamah Agung No. 04 tahun 2010 tentang Penempatan Penyalahgunaan, Korban Penyalahgunaan, dan Pecandu Narkotika ke Dalam Lembaga Rehabilitasi Medis dan Rehabilitasi Sosial, terduga pelaku dapat direhabilitasi.
Paradigma inilah yang membuat peredaran narkoba bak lingkaran setan. Pengguna bisa diposisikan sebagai korban hanya agar supaya dapat “hukuman” rehabilitasi. Bukankah karena permintaannya sehingga narkoba masih dicari? bukankah karena banyak peminatnya maka banyak orang memanfaaatkan peluang bisnisnya, hingga beberapa waktu lalu muncul kasus peredaran narkoba disetir oleh napi dalam penjara.
Sungguh, patutlah kita menangisi sistem yang tak manusiawi ini. Korban yang terus berjatuhan dari berbagai kalangan, tua muda, pelajar ibu rumah tangga dan lain sebagainya yang meregang nyawa karena zat haram ini tak membuat penguasa bergeming.
Mereka terus saja membuat kebijakan yang menyenangkan pengusaha narkoba. Negara tak memiliki kedaulatan dihadapan kartel besar narkoba. Narkoba menjadi komoditi utama kaum kafir. Kaum muslim menjadi sasaran empuk, dengan narasi sesat, narkoba dijadikan senjata bersamaan dengan digencarkannya kehidupan sekuler liberalis.
Di manakah hati nurani kita? sesungguhnya Islam telah memuliakan manusia di atas makluk ciptaanNya. Ketika syariat menyandarkan taklif hukum pada akal, maka Allah menurunkan seperangkat aturan guna menjaga akal tersebut. Diantaranya dengan tidak toleransi terhadap peredaran narkoba.
Kemudian akan dibangun suasana keimanan yang tinggi agar manusia menggunakan sebaik-baiknya waktu yang ia miliki untuk hal yang paling utama, yaitu ibadah. Dengan keimanan yang kuat dan keyakinan bahwa Allah Maha mengawasi akan membuat manusia menjadi pribadi yang produktif tanpa harus ditutupi topeng. Bekerja benar-benar bernilai ibadah, bukan eksploitasi maupun kerja rodi.
Wallahua’lam bisshowab.
[Lm/Hw/Fa]