Sekolah Bukan Mesin Cuci
Oleh: Azma Nasira Sy
(Pengajar STP Khairul ‘Ulum Banjarbaru)
LensaMediaNews- “Hore, waktunya kembali ke sekolah” Tidak terasa sudah memasuki ajaran baru ya bun. Anak-anak sudah selesai melaksanakan Ujian Akhir Semester (UAS) dan naik ke kelas selanjutnya. Haru biru tentu terasa saat acara perpisahan sekolah yaitu saat anak-anak berpisah dengan guru dan teman-teman mereka.
Ngomong-ngomong, bunda pasti sudah survei sekolah-sekolah yang akan menjadi tempat menuntut ilmu anak-anak ya saat liburan sekolah kemarin? Tentu sudah. Bahkan bisa jadi beberapa bulan sebelum ada pengumuman kelulusan anak. Bagi sebagian orangtua ada yang ingin menyekolahkan anak di sekolah negeri terbaik. Adapula orangtua yang ingin menyekolahkan anak di sekolah agama yang mengajarkan lebih banyak pembelajaran tentang agama.
Ada berapa sekolah yang sudah bunda kunjungi? Lebih dari satu pastinya kan? Wajar, karena bunda ingin memilih sekolah untuk anak tersayang. Orangtua mana yang tak ingin anaknya mendapatkan pendidikan terbaik? Dari sekian banyak orangtua pasti semua menginginkan. Bahkan tidak jarang orangtua rela mengeluarkan banyak biaya, seperti saat masuk ke sekolah swasta. Mengapa mahal? Karena sekolah swasta bersifat mandiri.
Bagaimana dengan orangtua yang tidak mampu namun ingin anak mereka menuntut ilmu di sekolah terbaik? Tentu para orangtua akan berupaya keras, banting tulang, tidak pedulikan hujan yang mengguyur dan panas yang menyengat, bekerja siang dan malam demi pendidikan untuk anak tercinta. Namun pada akhirnya, tidak sedikit orangtua yang sangat sibuk. Akhirnya menyerahkan sepenuhnya pendidikan kepada pihak sekolah. Padahal urusan pendidikan anak bukan hanya tugas sekolah. Namun tugas utama para orangtua.
Tapi inilah yang sering disalahartikan. Banyak orangtua berpemahaman bahwa sekolah adalah tempat sepenuhnya seorang anak menuntut ilmu. Sedangkan orangtua hanya bertugas mengumpulkan uang untuk membiayainya. Mengherankannya lagi, jika ada hal yang tidak beres dengan anak maka sekolah seolah menjadi satu-satunya yang harus bertanggungjawab atas hal itu. Padahal tidak bisa serta merta berpikir demikian.
Sekolah bukan mesin cuci yang dapat menyulap anak menjadi sholih luar biasa. Namun, kesalihan di dapat karena ada keharmonisan dalam tiga lingkup pendidikan. Sebab lingkup pendidikan anak bukan hanya di sekolah. Tapi juga dalam keluarga (utama) dan masyarakat. Lingkup pendidikan yang tidak harmonis contohnya dalam satu kasus berikut. Seorang anak telah diajarkan di rumah dan sekolah untuk tidak bermain bercampurbaur antara laki-laki dan perempuan (ikhtilat), tapi di masyarakat itu suatu hal yang boleh-boleh saja, tidak ada larangan dan aturan. Maka jika pemahaman anak belum kuat, dia akan memilih untuk bermain bercampur baur dengan lawan jenis seperti apa yang dilihatnya.
Inilah yang disebut lingkup pendidikan anak tidak harmonis. Ada yang bertentangan. Lingkup yang satu melarang satu perkara. Namun, lingkup lainnya membolehkan. Pada akhirnya muncul kebingungan dalam benak anak.
Bagaimana seharusnya?
Langkah pertama adalah dimulai dari lingkup keluarga. Orangtua haruslah menyadari dan memahami bahwa tugas mendidik anak adalah tugas utama mereka. Merekalah yang akan dimintai pertanggungjawaban di sisi Allah tentang urusan pendidikan anak. Jika orangtua tidak punya cukup ilmu, maka menuntut ilmu adalah solusinya. Kemudian berusaha memperbaiki diri dengan menambah tsaqofah Islam dan senang mendatangi majelis ilmu. Sebab sekali lagi, tugas utama mendidik anak adalah tugas orangtua.
Kedua, cari sekolah yang sesuai dengan apa yang orangtua harapkan. Tentunya, jika orangtua ingin memiliki anak yang faham tentang ilmu agama, maka anak disekolahkan ke sekolah yang lebih banyak memberikan pengajaran agama. Ini salah satu cara untuk menjaga anak di lingkungan sekolah. Meskipun, sejatinya tidak demikian di dalam Islam. Islam tidak pernah memisahkan antara ilmu agama dan ilmu dunia.
Pemisahan ini terjadi saat munculnya Sekulerisme (paham yang memisahkan antara agama dengan kehidupan) setelah runtuh kekhilafahan di Turki (Turki Utsmani) tahun 1924 (95 tahun silam). Seharusnya, keduanya (ilmu agama dan ilmu dunia) dipelajari secara beriringan. Ingat saja Ibnu Sina yang ahli dalam ilmu kedokteran (penemu alat bedah), beliau adalah seorang yang hafal Alquran dan hadits-hadits.
Ketiga, lingkup yang paling luas adalah masyarakat. Lingkup ini yang sering mempengaruhi dan mewarnai pribadi anak. Seringkali apa yang diajarkan di rumah dan sekolah bertentangan dengan apa yang anak lihat dalam masyarakat. Sehingga orangtua sangat perlu untuk mencari lingkungan masyarakat yang suasananya bagus untuk anak.
Ini adalah upaya yang bisa orangtua lakukan untuk menjaga pendidikan anak agar tidak terpengaruh dengan hal buruk yang tidak diinginkan. Maka sekali lagi, sekolah bukanlah tempat pendidikan anak satu-satunya. Namun ada tiga lingkup pendidikan anak yang harus dijaga. Semoga Allah memberikan kemudahan kepada seluruh orangtua, aamiin.
[LS/Ln]