Menggapai Dakwah Islam melalui Film
Oleh: Nursiyati
Lagi dan lagi, kita disuguhkan oleh film yang tidak bermutu. Hadir di tengah-tengah rusaknya karakter pendidikan anak negeri ini. Ditambah lagi dengan permasalahan pergaulan bebas yang sudah menjadi momok menakutkan bagi sebagian orang tua, dan sekarang kita harus mengelus dada melihat salah satu karya anak negeri yang justru makin mendorong hal tersebut di atas.
Karya anak negeri yang menuai kontroversi itu adalah Film Dua Garis Biru, karya sutradara Ginatri S Noer mengisahkan sepasang remaja yang melampaui batas dalam berpacaran, sehingga berujung pada pernikahan usia dini.
Hal ini kemudian menimbulkan Petisi digagas oleh Gerakan Profesionalisme Mahasiswa Keguruan Indonesia (Garagaraguru) di Change.org. Mereka menilai ada beberapa scene di trailer yang menunjukkan situasi pacaran remaja yang melampaui batas. Menurut mereka, tontonan tersebut dapat memengaruhi masyarakat, khususnya remaja untuk meniru apa yang dilakukan di film.
“Beberapa scene di trailer menunjukkan proses pacaran sepasang remaja yang melampaui batas, terlebih ketika menunjukkan adegan berduaan di dalam kamar yang menjadi rutinitas mereka. Scene tersebut tentu tidak layak dipertontonkan pada generasi muda, penelitian ilmiah telah membuktikan bahwa tontonan dapat mempengaruhi manusia untuk meniru dari apa yang telah ditonton,” isi di dalam petisi, dilihat detikHOT, Rabu (1/5/2019).
Yang lebih mengherankan adalah tanggapan dari Deputi Bidang Keluarga Sejahtera dan Pemberdayaan Keluarga BKKBN M Yani di Jakarta, Kamis, mengatakan film Dua Garis Biru dapat membantu BKKBN dalam menjangkau remaja Indonesia lebih luas dengan program Generasi Berencana (GenRe).
Menurutnya Film berjudul “Dua Garis Biru” yang baru tayang di bioskop hari ini dinilai sangat menggambarkan nilai-nilai yang ingin ditanamkan dalam program remaja di Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN). Deputi Bidang Keluarga Berencana dan Kesehatan Reproduksi BKKBN Dwi Listyawardani mengatakan bahwa, film tersebut bisa menjadi edukasi kesehatan reproduksi kepada remaja yang menontonnya.
Film itu menggambarkan realita bahwa anak remaja sedikit mengetahui dan belajar tentang kesehatan reproduksi namun tidak mengetahui risiko-risiko yang bisa terjadi akibat perkawinan usia muda.(antaranews.com, 11 Juli 2019) Sungguh miris, di tengah banyaknya permasalahan negeri ini yang tak kunjung selesai akibat sistem kapitalisme, yang di dalamnya menganut sistem liberal yang mengagungkan kebebasan.
Pembuatan film bernilai bisnis yang menguntungkan. Selama ada yang berminat dan menjanjikan keuntungan film akan dibuat dengan judul dan trailer yang ‘menjual’. Rezim saat ini tidak berdaya mengendalikan arus liberalisasi yang menghancurkan generasi melalui film.
Sehingga, akibat dari adanya film-film yang mengumbar syahwat para remaja kita bisa dilihat hasilnya para remaja dalam pergaulan bebas saat ini. Seperti data hasil Survey Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 2017 mengungkap bahwa, sekitar 2 persen remaja wanita usia 15-24 tahun dan 8 persen remaja pria di rentang usia yang sama, telah melakukan hubungan seksual sebelum menikah. Sebanyak 11 persen di antaranya mengaku mengalami kehamilan tidak diinginkan.
Padahal, hakikatnya film dalam sistem Islam adalah dalam rangka dakwah dan edukasi bagi rakyat, yaitu untuk mendekatkan diri dan masyarakat kepada Allah SWT, bukan sebagai ajang untuk menjadikan masyarakat melakukan kemaksiatan dan pelanggaran terhadap syariat Islam.
Selain itu film termasuk uslub atau cara yang bisa kita gunakan dalam menarik minat masyarakat, khususnya remaja untuk mengenal Islam lebih dalam serta salah satu cara untuk menyebarluaskan syariat yang terkandung di dalam agama Islam.
Selanjutnya untuk mencapai hal tersebut, negara punya peran utama dalam mengendalikan produksi film. Adapun cara negara nantinya yaitu akan mengeluarkan undang-undang, yang akan menjelaskan garis-garis umum politik negara dalam mengatur informasi sesuai dengan ketentuan hukum-hukum syariah.
Selain itu dapat dipastikan negara pula tidak akan membiarkan pemikiran-pemikiran yang rusak dan merusak, juga tidak ada tempat bagi berbagai pengetahun yang sesat dan menyesatkan, baik melalui film maupun media yang lainnya, dan hal ini dapat tercapai dalam negeri yang menjadikan Alquran dan Hadist Rasullullah sebagai hukum tertinggi. Wallahu’alam bishawab (LN/WuD)
*Pengajar