Jika Harga Gabah Anjlok, Petani Semakin Jeblok
Musim panen area Jawa Timur bagian barat telah dimulai. Salah satunya kota Ngawi. Ketika panen tiba, wajah riang dan bersemangat senantiasa menghiasi para petani. Namun, kali ini lain. Para petani justru merasa resah. Pasalnya harga gabah yang digadang – gadang membaik tak kunjung datang. Justru nilainya semakin menurun. Penjualan gabah basah hanya dihargai Rp 3.800,00/kg. Padahal panen sebelumnya bisa mencapai Rp 4.500,00/kg.
Penurunan harga ini akan terus berlanjut jika dibiarkan. Biasanya semakin banyak panenan akan semakin murah. Hasil panen kali ini dinilai tidak menguntungkan jika dibandingkan dengan biaya penanaman dan perawatan padi. Belum lagi jika tenaga yang dipakai adalah tenaga bayaran. Dan airnya juga beli. Apalagi pupuk yang sering sulit didapat dan harganya sering di atas harga pasar. Wajah petani akan semakin mengkerut.
Penurunan harga ini bisa karena pengaruh hukum pasar yaitu suplly and demand (penawaran dan permintaan). Jumlah stok di pasaran cukup melimpah disebabkan panen raya, sedang jumlah permintaan tetap. Dengan banyaknya barang, maka mengakibatkan turunnya harga gabah. Hal ini berimbas pada penggilingan gabah juga menurun. Jika dibiarkan terus menerus, petani bisa rugi. Setelah panen malah gigit jari.
Masalah ini perlu diselesaikan. Dalam Islam pemerintah memang tidak boleh mematok harga. Namun, pemerintah bisa mengeluarkan kebijakan dengan mengatur distribusi barang. Melalui Bulog, dapat melakukan penyerapan hasil panen. Gabah atau beras dibeli dan disimpan oleh Bulog, agar bisa dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat saat minim jumlah bahan pangan. Atau bisa dialokasikan ke daerah – daerah kekurangan, sehingga distribusi berjalan lancar. Dengan begitu harga gabah di petani akan berangsur naik. Sehingga petani tidak akan rugi banyak.
Henyk Widaryanti, Ngawi
[LS/Ry]