Islam Berdaya Atur Stabilitas Harga
Oleh: Yeni Marliani
(Anggota Komunitas Muslimah Peduli Generasi Brebes)
LensaMediaNews- Beberapa pekan lalu menjelang bulan Ramadan dikejutkan dengan naiknya harga bawang putih yang tak masuk akal. Bahkan, di beberapa tempat hingga menyentuh harga Rp 100.000 per kilogram (cnnindonesia.com/8/5/’19).
Berbagai spekulasi melonjaknya harga bawang putih beragam. Mulai dari naiknya permintaan konsumen menjelang bulan Ramadan yang kemudian dimanfaatkan beberapa pedagang untuk menaikkan harga. Hingga kelangkaan pasokan di pasar akibat terlambatnya impor.
Sejatinya Indonesia tak bisa lepas dari impor bawang putih. Produksi nasional hanya mampu mengisi 5 persen kebutuhan dalam negeri. Sisanya sebesar 95 persen dipenuhi impor. Buletin konsumsi pertanian semester 2 tahun 2018, mencatat konsumsi bawang putih secara nasional mencapai 500.000 ton sementara produksinya hanya 19.510 ton (detik.com/18/4/’19).
Data BPS menunjukkan, impor bawang putih pada 2015 mencapai 482.655 ton. Pada 2017 meroket 25,15 persen. Menanjak lagi 4,49 persen pada 2018 yakni menjadi 581.077 ton (cnnimdonesia.com/8/5/’19). Alhasil, impor terlambat sedikit saja, stabilitas harga tak berdaya.
Miris. Secara tak langsung merobohkan gelar negeri agraris. Negeri yang sebagian besar penduduknya bekerja di bidang pertanian dengan potensi sumberdaya alam yang dapat memenuhi kebutuhan pokok pangan nasional untuk rakyatnya.
Perlahan namun pasti, negeri agraris kian kronis sebab impor kian naik tak terkendali di segala komoditi tak terkecuali bawang putih. Padahal Indonesia memiliki sentra bawang putih yang tersebar di 110 daerah. Pertanyaannya bagaimana pengelolaan pemerintah?
Demokrasi Biang Keladi
Lebih dari tujuh dekade negeri ini bernafaskan demokrasi. Dari rakyat oleh rakyat untuk rakyat adalah slogan manis yang terus dipublikasi, nyatanya hanya sekedar ilusi. Betapa tidak, rakyat yang seharusnya menjadi tujuan setiap kebijakan namun berulangkali terpinggirkan.
Kebebasan yang menjadi pilar demokrasi mengawali liberalisasi ekonomi. Seharusnya sumberdaya alam dikelola sepenuhnya negara untuk kesejahteraan rakyat, namun faktanya bebas dimiliki dan dikelola pribadi bahkan bukan pribumi. Jangan heran jika nanti komoditas pangan sulit dicari, kalaupun ada harganya tinggi, negeri tak mampu produksi sendiri, kesejahteraan hanyalah mimpi.
Islam Menawarkan Solusi
Tak ada cara lain melainkan melakukan revolusi yang memberikan kebaikan di segala bidang kehidupan. Efeknya bisa dirasakan dunia bahkan akhirat. Tentu saja revolusi sistem. Tak bisa terus mempertahankan sistem di mana demokrasi merupakan produknya. Sistem itu adalah Islam.
Islam tak sekedar agama, namun merupakan sistem yang berasal dari Sang Pencipta. Islam menawarkan solusi terbaik yang bisa dirasakan di dunia maupun akhirat. Sebab dasarnya adalah ketakwaan kepada Rabb Pencipta alam semesta.
Islam jelas menggambarkan bagaimana pengelolaan sumber daya alam semata-mata untuk kesejahteraan rakyat. Kaum muslim berserikat dalam tiga perkara yaitu padang rumput, air dan api (HR. Abu Dawud dan Ahmad). Hadits tersebut menetapkan bahwa berserikatnya manusia baik muslim maupun kafir dalam tiga hal tersebut, ketiganya tidak boleh dimiliki oleh individu.
Dalam hal ini, jika sesuai sistem Islam maka pemerintah sebagai pengelola yang mewakili rakyat mengatur pemanfaatannya. Sehingga seluruh rakyat dapat mengakses dan mendapatkan manfaat secara adil. Segala potensi pemenuhan bahan pokok dikelola pemerintah secara optimal dari hulu hingga hilir. Strategi pemetaan produksi hingga tingkat konsumsi ditangani pemerintah secara tepat. Dengan demikian, Islam menjadikan pemerintah berdaya dalam menjamin kebutuhan bahan pokok dan stabilitas harga.
Wallahu a’lam bisshowab.
[LS/Ry]