Impor Guru Merusak Kemandirian Bangsa
Oleh : Isnawati
LensaMediaNews- Dunia pendidikan dihebohkan dengan rencana pemerintah yang akan mengimpor guru dari luar negeri. Ketakutan dan keresahan akan nasib dunia pendidikan yang semakin sengkarut cukup menyita perhatian semua pihak terutama para pendidik, dari jenjang bawah sampai perguruan tinggi. Berbagai diskusi terkait hal ini, baik di dunia maya maupun di dunia nyata ramai dibicarakan.
Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Puan Maharani, Kamis tanggal 9 Mei 2019, mengungkapkan bahwa akan mengundang guru asing dengan tujuan untuk meningkatkan kompetensi tenaga pengajar. Pernyataan ini menuai kontroversi di kalangan para praktisi pendidikan dan masyarakat. Penolakan paling lantang dilakukan oleh para guru honorer (Jpnn.com, 11 Mei 2019). Bagi mereka, kebijakan tersebut telah melukai hati sebab pengabdian mereka berarti hanya dianggap angin lalu.
Kualitas pendidikan saat ini memang sangat rendah tapi bukan berarti impor guru dijadikan solusi sebab guru di dalam negeri masih banyak yang berkualitas tinggi. Mengundang guru asing berarti mengundang masalah baru sedangkan masalah guru honorer sampai saat ini saja terkatung-katung tanpa solusi yang jelas. Persoalan kualitas pendidikan yang rendah bukan hanya terletak pada manusianya saja atau pengajarnya saja tetapi sistem pendidikan yang ada melahirkan kurikulum yang melelahkan yang hanya berfungsi sebagai transfer ilmu. Kejumudan tak terelakkan alhasil pendidikan yang ada berkualitas sangat minim didukung pendidikan yang diarahkan mengikuti ideologi pasar dan menjadi elevasi sosial yang semakin kompetitif dan liberal.
Liberalisme merupakan ancaman bagi dunia pendidikan, menghasilkan manusia-manusia yang berfikir mencari strategi untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya dengan cara pragmatis seperti wacana impor guru. Mengundang guru asing tidak disadari oleh pengatur negeri ini sebagai ancaman yang akan merusak budaya, pemahaman dan pemikiran umat akan norma dan agama yang ada.
Meskipun Ibu Menteri menyatakan bahwa pernyataannya diplintir karena ia tidak menyatakan akan mengimpor guru. Tapi beliau mempertegas bahwa beliau ingin mendatangkan guru dari luar untuk training of trainers / ToT (Republika, 21/5/2019). Ketika pengatur negeri ini tidak berperan meningkatkan kualitas pendidikan yang mencakup mutu pendidikan, dan pemerataan program secara berkelanjutan melalui perumusan kebijakan yang menyangkut pelayanan, teknis dan monitoring maka program Training Of Trainers atau TOT guna meningkatkan kinerja dan profesionalitas guru dalam menghadapi revolusi industri 4.0 hanya akan menjadi wacana belaka.
Wacana impor guru telah meresahkan umat dan jika sampai benar-benar terjadi pasti akan merusak kemandirian bangsa. Negara adalah pelindung umat yang harus bisa menata dan memantapkan pelaksanaan pendidikan secara berkelanjutan dengan memberikan pelayanan pada rakyat untuk melangkah dan berkembang secara optimal.
Kemandirian segala bidang harus segera diwujudkan agar tidak ada lagi kemirisan seperti wacana impor guru. Wacana yang menunjukkan seolah-olah bangsa ini sudah putus asa mencetak pendidik yang handal menuju negara yang mandiri dan berperadaban tinggi. Guru harus segera dikembalikan diposisinya sebagai figur yang mulia, pencetak generasi yang tangguh dan mumpuni. Guru tidak boleh diberi beban yang berat dengan melibatkan guru dalam berbagai masalah pendidikan. Guru semestinya hanya fokus pada pendidikan anak didiknya. Di sisi lain, pemerintah harus menjamin kesejahteraan guru.
Mewujudkan kesejahteraan guru membutuhkan perubahan yang hakiki. Perubahan yang mampu menerapkan kemandirian sosial, politik, ekonomi dan budaya, berlandaskan iman dan ketaatan pada Sang Pencipta sekaligus Pengatur Kehidupan. Jika kita menengok pada perubahan saat ini yang jauh panggang dari api, apakah kita masih akan tetap bertahan dengan sistem pendidikan yang sekarang?
“Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki, dan hukum siapakah yang lebih baik dari pada hukum Allah bagi orang- orang yang yakin?” (QS. Al-Maidah 50).
Wallahua’lam bisshawab.
[LNR]