Doa Berbuka “Allahuma laka shumtu” Tidak Shahih dan Tidak Ada dalam Kitab Hadis Manapun, Benarkah?

 

________________________________________

/ Doa Berbuka Puasa /

Oleh: KH. Muhammad Siddiq Al-Jawwi

 

LenSaMediaNews– Tidaklah benar jika ada perkataan bahwa doa berbuka puasa dengan lafazh “allahuma laka shumtu dst” tidak terdapat dalam kitab hadis mana pun. Dalam kitab Al Adzkar An Nawawiyyah karya Imam Nawawi, juga dalam kitab Al Fiqh Al Islami wa Adillatuhu karya Syeikh Wahbah Zuhaili, disebutkan bahwa doa tersebut terdapat dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud secara mursal dari Mu’adz bin Zuhrah. (Imam Nawawi, Al Adzkar An Nawawiyyah, hlm.162; Wahbah Zuhaili, Al Fiqh Al Islami wa Adillatuhu, Juz 3 hlm. 46).

Dalam kitab hadis Sunan Abu Dawud nomor 2358 dari Mu’adz bin Zuhrah, pada bab Al Qaul ‘Inda Al Ifthaar (Ucapan Pada Saat Berbuka), terdapat hadis yang lengkapnya sebagai berikut :

حدثنا مسدد، ثنا هشيم، عن حصين، عن معاذ بن زهرة أنه بلغه أن النبي صلى اللّه عليه وسلم كان إذا أفطر قال اللهم لك صمت وعلى رزقك أفطرت

“Telah menceritakan kepada kami Musaddad, telah menceritakan kepada kami Husyaim, dari Hushain, dari Mu’adz bin Zuhrah bahwasanya telah sampai kepadanya bahwa Nabijika berbuka puasa berdoa, “Allahumma laka shumtu wa ‘ala rizqika afthartu.” (Ya Allah hanya karena-Mu aku berpuasa, dan hanya dengan rizki-Mu aku berbuka).” (HR Abu Dawud, no 2358).

Berdasarkan bukti yang nyata ini, sungguh tidak benar perkataan yang dengan berani telah mengklaim bahwa doa berbuka puasa dengan lafazh “allahuma laka shumtu dst” tidak ada dalam kitab hadis mana pun.

===

Kami berprasangka baik (husnuzh zhann) bahwa perkataan itu kemungkinan hanya melebih-lebihkan (mubalaghah) belaka. Yaitu bahwa maksudnya bukan ingin benar-benar mengatakan doa “allahumma laka shumtu dst” tidak terdapat dalam kitab hadis mana pun. Namun (barangkali) maksudnya adalah, hadis tentang doa “allahumma laka shumtu dst” itu sebenarnya ada, namun derajatnya dhaif sehingga tidak layak untuk diamalkan.

Jika memang demikian yang dimaksudkan, maka hadis tentang doa “allahumma laka shumtu dst” itu memang dapat dinilai hadis dhaif. Karena hadis yang diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud dari Mu’adz bin Zuhrah ini merupakan hadis mursal, sebagaimana kata Imam Nawawi, ”Haakadza rawaahu mursalan” (Demikianlah Abu Dawud telah meriwayatkan hadis ini secara mursal).

Padahal hadis mursal menurut sebagian ulama termasuk hadis dhaif. (Imam Nawawi, Al Adzkar An Nawawiyyah, hlm.162; Wahbah Zuhaili, Al Fiqh Al Islami wa Adillatuhu, Juz 3 hlm. 46; Mahmud Thahhan, Taisir Mustholah Al Hadits, hlm. 72).

===

Menurut Syeikh Shubhi Shalih, hadis mursal adalah hadis yang gugur darinya periwayat dari generasi sahabat (maa saqatha minhu as shahaabi). Contohnya, seorang tabi’in (bukan sahabat) mengatakan, ”Nabi ﷺ berkata begini atau berbuat begini”. Hadis mursal ini menurut sebagian ulama memang digolongkan ke dalam hadis yang dhaif dan tertolak (dha’iif marduud).

Karena ia dianggap mengandung cacat, yaitu terputusnya sanad (inqithaa’us sanad). (Shubhi Shalih, Ulumul Hadits wa Mushtholahuhu, hlm. 166-167; Mahmud Thahhan, Taisir Mustholah Al Hadits, hlm. 72).

Dalam kitab-kitab Syarah Sunan Abu Dawud, dijelaskan periwayat hadis bernama Mu’adz bin Zuhrah memang bukanlah seorang sahabat, melainkan seorang tabi’in. Imam Ibnu Hibban menyebut nama Mu’adz bin Zuhrah dalam kitabnya Tsiqaat At Tabi’in. Dan dalam hal ini memang tidak diketahui siapa nama shababat yang menjadi perantara (waasithah) antara Mu’adz bin Zuhrah dengan Nabi ﷺ.

Dengan demikian, hadis Abu Dawud dari Mu’adz bin Zuhrah di atas memang hadis mursal. (Muhammad Syamsul Haq Al ‘Azhim Abadi,’Aunul Ma’bud, Juz 11 hlm. 483; Muhammad Muhammad Khathab As Subki, Al Manhal Al ‘Adzb Al Maurud, Juz 10 hlm. 81-82).

===

Maka dari itulah, tidak mengherankan jika ada sebagian ulama yang menilai hadis Mu’adz bin Zuhrah tersebut adalah hadis dhaif. Misalnya Imam Suyuthi dalam kitabnya Al Jami’ius Shaghir yang telah menilai dhaif (lemah) terhadap hadis Mu’adz bin Zuhrah tersebut, dengan alasan hadis tersebut adalah hadis mursal.

Namun demikian, menurut kami, pendapat yang mendhaifkan hadis tersebut kurang tepat. Karena sesungguhnya para ulama masih berbeda pendapat mengenai hadis mursal, apakah dapat dijadikan hujjah (dalil) ataukah tidak. Dalam persoalan ini, pendapat jumhur imam mazhab, yaitu Imam Abu Hanifah, Imam Malik, dan Imam Ahmad, yang sekaligus pendapat yang rajih (kuat) menurut Imam Taqiyuddin An Nabhani, rahimahullah, adalah, hadis mursal dapat dijadikan hujjah.

Alasannya, meski periwayat yang gugur (tidak disebut) tidak diketahui dari segi personnya (min naahiyati syakhshihi), yaitu apakah sahabat bernama A ataukah sahabat bernama B, tapi jelas diketahui bahwa periwayat itu adalah seorang sahabat. Padahal semua sahabat adalah orang-orang yang adil (al shahabat kulluhum ‘uduul), yang sudah pasti merupakan orang yang tsiqah (adil dan dhabit / kuat hapalan).

Jadi alasan yang melemahkan hadis mursal, yaitu terputusnya sanad (inqithaa’us sanad), tidak dapat diberlakukan pada hadis mursal. (Taqiyuddin An Nabhani, Al Syakhshiyyah Al Islamiyyah, Juz 1 hlm. 342; Mahmud Thahhan, Taisir Mustholah Al Hadits, hlm. 73).

===

Jadi, meskipun hadis Abu Dawud yang mengandung doa “allahumma laka shumtu” di atas merupakan hadis mursal, namun hadis ini sesungguhnya bukanlah hadis yang lemah. Karena hadis mursal menurut tiga imam mazhab adalah hadis yang dapat dijadikan hujjah.

Dalam kasus hadis Mu’adz bin Zuhrah ini, tidak diketahuinya nama sahabat tidaklah menjadi masalah, sehingga hadisnya tidak dapat dilemahkan hanya karena tidak disebutnya nama sahabat oleh Mu’adz bin Zuhrah. Pensyarah kitab Sunan Abu Dawud, yakni Syeikh Muhammad Muhammad Khathab As Subki, berkata dalam kitabnya Al Manhal Al ‘Adzb Al Maurud Syarh Sunan Abi Dawud:

لم يعرف الواسطة بينه وبين النبي صلى الله تعالى عليه وعلى اله وسلم، وجهالة الصحابة لا تضر(و في هذا) دلالة على مشروعية هذا القول بعد الفطر من الصيام

“Tidak diketahui siapakah sahabat yang menjadi perantara antara dia [Mu’adz bin Zuhrah] dengan Nabi ﷺ, namun ketidaktahuan dalam hal [siapa] sahabat ini tidaklah membahayakan… (Dan dalam hadis ini) terdapat dalil mengenai pensyariatan doa ini [allahumma laka shumtu dst] setelah berbuka dari puasa.” (Muhammad Muhammad Khathab As Subki, Al Manhal Al ‘Adzb Al Maurud Syarh Sunan Abi Dawud, Juz 10 hlm. 81).

Kutipan di atas menunjukkan bahwa pensyarah hadis lebih condong kepada pendapat yang mengambil hadis mursal sebagai hujjah, yang nampak dari perkataan beliau, ”Namun ketidaktahuan dalam hal [siapa] sahabat ini tidaklah membahayakan..”. Maka hadis Abu Dawud yang berisi doa “allahumma laka shumtu” tak dapat dihukumi sebagai hadis dhaif hanya dengan alasan merupakan hadis mursal.

===

Nah, kemudian, jika bukan hadis dhaif, lalu hadis tersebut derajatnya apa? Menurut kami, wallahu a’lam, derajatnya paling sedikit adalah hadis hasan, khususnya hadis hasan li ghairihi.

Mengapa dapat dikategorikan hadis hasan? Karena menurut kami hadis Mu’adz bin Zuhrah tersebut memenuhi syarat-syarat sebagai hadis hasan li ghairihi.

Menurut Syeikh Mahmud Thahhan, hadis yang aslinya dhaif dapat meningkat derajatnya menjadi hasan li ghairihi jika memenuhi 2 (dua) syarat;

Pertama, ada jalur periwayatan lain dengan derajat yang sama atau lebih kuat.

Kedua, penyebab dhaifnya bukan karena kefasikan periwayat dan kedustaan perawi, melainkan karena sebab-sebab lain, yaitu buruknya hapalan, atau terputusnya sanad, atau ketidaktahuan (al jahaalah) mengenai siapa yang menjadi periwayat-periwayat suatu hadis. (Mahmud Thahhan, Taisir Mustholah Al Hadits, hlm. 52-53).

===

Syarat pertama, dapat dipenuhi. Karena dalam kitab Al Manhal Al ‘Adzb Al Maurud Syarh Sunan Abi Dawud pada juz 10 hlm. 82, disebut ada hadis dengan jalur periwayatan lain dari Mu’adz bin Zuhrah juga, walaupun lafalnya berbeda namun maknanya sama. Disebutkan oleh pensyarah kitab tersebut :

(وروى)
بن السني عن معاذبنزهرةأنهصلى الله تعالى عليه وعلى اله وسلم كان يقول : الحمد لله الذي أعانني فصمت ورزقني فأفطرت

“Telah meriwayatkan Ibnus Sunni dari Mu’adz bin Zuhrah bahwa dia [Nabi]pernahberdoa[saatberbuka], ”Segala puji bagi Allah yang telah menolongku sehingga aku berpuasa, dan yang telah memberi rizki kepadaku sehingga aku berbuka.” (Muhammad Muhammad Khathab As Subki, Al Manhal Al ‘Adzb Al Maurud Syarh Sunan Abi Dawud, Juz 10 hlm. 82).

Hadis ini adalah hadis mursal juga, karena Mu’adz bin Zuhrah tidak menyebut siapa nama sahabat yang menjadi perantara antara dirinya dengan Nabi ﷺ (Lihat Al Adzkar An Nawawiyah, hlm. 162). Jadi ini adalah hadis dengan jalur periwayatan lain yang sama derajatnya dengan hadis Mu’adz bin Zuhrah sebelumnya yang berisi doa “allahumma laka shumtu dst”.

===

Syarat kedua, juga dapat dipenuhi. Yaitu penyebab kedhaifannya adalah karena ada unsur keterputusan sanad (inqithaa’us sanad), atau unsur al jahaalah (ketidaktahuan) mengenai identitas perawi, bukan karena ada perawi yang fasik atau dituduh berdusta.

Padahal sudah diketahui bahwa perawi yang tak diketahui itu tidaklah membahayakan, karena dia adalah seorang sahabat. Maka dari itu, hadis Mu’adz bin Zuhrah di atas menurut kami derajatnya adalah hadis hasan.

===

Walhasil, dari seluruh uraian di atas dapat kami simpulkan dua poin utama sebagai berikut;

Pertama, bahwa doa berbuka puasa yang berbunyi “allahuma laka shumtu dst” tidaklah benar kalau dikatakan tidak ada di dalam kitab hadis mana pun.

Kedua, hadis mursal dari Imam Abu Dawud yang mengandung doa tersebut, bukanlah hadis dhaif, melainkan hadis yang derajatnya minimal adalah hasan. Ini berarti hadis tersebut dapat dijadikan hujjah dan sah untuk diamalkan kaum muslimin. Alhamdulillah. Wallahu a’lam.

[Fa]

Please follow and like us:

Tentang Penulis