Hukum Puasa bagi Wanita yang Hamil, Menyusui, dan Melahirkan
Oleh: Muhammad Shiddiq Al Jawi
Pertanyaan :
Ustad, bagaimana hukum puasa Ramadan bagi perempuan yang sedang hamil, menyusui, atau melahirkan?
Jawaban :
Perempuan yang melahirkan dan darah nifasnya masih mengalir, tidak boleh berpuasa Ramadan, karena di antara syarat sah puasa adalah suci dari nifas. Jika darah nifas sudah berhenti mengalir, dan masih dalam bulan Ramadan, dia wajib kembali berpuasa Ramadan. Jika berhentinya darah nifas sebelum waktu Subuh lalu dia baru mandi setelah masuknya waktu Subuh, puasanya sah. Inilah pendapat jumhur ulama, kecuali pendapat sebagian ulama seperti Imam Auza’i, juga salah satu dari dua pendapat dalam mazhab Maliki, yang mensyaratkan mandi sebelum masuk waktu Subuh. Namun yang rajih (kuat) pendapat jumhur ulama. (Wahbah Zuhaili, Al Fiqh Al Islami wa Adillatuhu, 2/616; Mahmud Uwaidhah, Al Jami’ li Ahkam As Shiyam, hlm. 45).
Perempuan yang tidak puasa Ramadan karena nifas, wajib mengganti dengan meng- qadha’ , bukan dengan membayar fidyah. Tak ada perbedaan pendapat ulama dalam masalah ini. Imam Ibnu Qudamah berkata, “Telah sepakat ulama bahwa perempuan yang haid dan nifas tidak halal berpuasa Ramadhan…namun mereka wajib mengqadha’ puasa yang ditinggalkannya.” (Ibnu Qudamah, Al Mughni, 5/30).
Dalilnya hadis dari Aisyah Ra yang berkata, “Dahulu kami mengalaminya [haid], maka kami diperintah untuk mengqadha’ puasa tapi tidak diperintah untuk mengqadha’ shalat.” (HR Muslim no 763). Hadis ini menunjukkan perempuan yang haid wajib meng- qadha’ puasanya, demikian pula perempuan yang nifas, karena nifas semakna dengan haid berdasarkan ijma ulama. (Ibnu Qudamah, Al Mughni, 5/30; Muhammad Abdurrahman Dimasyqi, Rahmatul Ummah fi Ikhtilaf Al A`immah, hlm. 66; Yusuf Qaradhawi, Fiqh As Shiyam, hlm. 39; Ali Raghib, Ahkam As Shalah, hlm. 119).
Adapun perempuan hamil dan menyusui, tak ada khilafiyah di antara ulama keduanya boleh tidak berpuasa Ramadan. Sabda Nabi Saw, “Sesungguhnya Allah SWT telah menanggalkan bagi musafir setengah [kewajiban] shalatnya dan juga [kewajiban] puasanya, dan bagi perempuan hamil dan menyusui, [kewajiban] puasanya.” (HR Ibnu Majah, Nasa`i, Tirmidzi). (Mahmud Uwaidhah, Al Jami’ li Ahkam As Shiyam, hlm. 53).
Namun, ulama berbeda pendapat mengenai syarat perempuan hamil dan menyusui boleh tidak berpuasa Ramadan. Apakah disyaratkan mereka khawatir akan dirinya, janinnya, dan bayi yang disusuinya, ataukah hanya karena hamil dan menyusui? Sebagian ulama berpendapat, jika perempuan yang hamil dan menyusui khawatir akan dirinya, atau anaknya (janin/bayi yang disusui), dia boleh tidak berpuasa. Ini pendapat rajih dalam mazhab Syafi’i dan pendapat Imam Ahmad. Namun sebagian ulama berpendapat, perempuan yang hamil dan menyusui secara mutlak boleh tidak berpuasa, baik ada kekhawatiran atau tidak, baik khawatir akan dirinya atau anaknya. Ini pendapat Syaikh Ali Raghib. (Muhammad Abdurrahman Dimasyqi, Rahmatul Ummah fi Ikhtilaf Al A`immah, hlm.66; Ali Raghib, Ahkam As Shalah, hlm. 121).
Yang rajih menurut kami pendapat bahwa jika perempuan hamil khawatir akan dirinya, dan perempuan menyusui khawatir akan bayi yang disusuinya, boleh mereka tidak berpuasa. Jika kekhawatiran itu tidak ada, tidak boleh tidak berpuasa. Dalilnya dari Anas bin Malik Ra bahwa Nabi Saw memberi rukhsah kepada perempuan hamil yang khawatir akan dirinya dan perempuan menyusui yang khawatir akan anaknya untuk tidak berpuasa. (HR Ibnu Majah no 1668; Mahmud Uwaidhah, Al Jami’ li Ahkam As Shiyam, hlm. 53).
Apakah perempuan hamil dan menyusui wajib meng- qadha’ puasanya ? Sebagian ulama, seperti Ibnu Abbas dan Ibnu Umar, membolehkan mengganti puasa dengan fidyah, tidak mewajibkan qadha’. Namun yang rajih adalah pendapat mayoritas jumhur ulama yaitu meng- qadha’. Sebab pendapat Ibnu Abbas itu diragukan, mengingat dalam Mushannaf Abdur Razaq (no 7564) Ibnu Abbas justru berpendapat sebaliknya, yaitu wajib meng- qadha’ dan tidak boleh membayar fidyah.
Wallahu a’lam.
============================================
Sumber: Media Muslimah Mojokerto
[Lm/Hw/Fa]