Menyibak Tabir Hipokrisi Demokrasi
Oleh: Tety Kurniawati*
Rakyat Indonesia telah melaksanakan pesta demokrasi pemilu pada 17 April pekan lalu. Sayangnya klaim ‘pemilu curang’ mengemuka pasca hajatan nasional tersebut digelar. Isu kecurangan ini ditengarai terjadi, dari sebelum saat proses rekapitulasi perhitungan suara. Penyelenggaraan pemilihan umum 2019 di sejumlah daerah mengalami kendala. Mulai dari masalah distribusi logistik, kekurangan surat suara, kerusakan kotak suara, kerusakan surat suara, hingga surat suara tercoblos lebih dulu. Deretan kasus ini menunjukkan KPU gagal menjamin pemilu berjalan langsung. (tirto.id 17/4/19)
Tak hanya sekedar masalah teknis yang mengemuka. Ditengah tingginya ketergantungan ekonomi akan utang luar negeri. Rakyat yang berharap perubahan lewat penyelenggaraan pemilu. Dibuat terkejut dengan alokasi anggaran yang digelontorkan negara untuk Pemilu tahun 2019 yang terbilang cukup fantastis, yakni sekitar Rp 2,5 triliun lebih. (rmol.co 26/4/19)
Mirisnya, besaran dana tersebut justru berbanding terbalik dengan tersedianya teknologi yang membantu dalam kemudahan, kecepatan dan ketepatan prosesi perhitungan suara. Akibatnya, jatuhnya korban jiwa pun tak dapat terhindarkan. Jumlah petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) yang meninggal dunia terus bertambah. Saat ini jumlah petugas KPPS yang meninggal berjumlah 272 orang. “Jumlah bertambah, anggota wafat 272 dan sakit 1.878,” ujar komisioner KPU Evi Novida Ginting Manik (detik.com 27/4/19)
Kisruh Pemilu 2019 menjadi bukti tak terbantahkan. Bahwa berharap hadirnya perubahan lewat sarana pemilu. Meski sekedar perubahan rezim. Pada faktanya sulit untuk diwujudkan. Demokrasi mengusung pemerintahan yang meletakkan kedaulatannya di tangan rakyat. Suara rakyat adalah suara Tuhan. Dimana manusia berhak menentukan benar salah sesuai akalnya yang penuh keterbatasan. Hingga membuat aturan semata agar hawa nafsunya terpuaskan. Alhasil kecurangan masif, terstruktur, sistemik dan brutal menjadi bagian tak terpisahkan kala demokrasi diterapkan.
Bercermin dari sejarah AS. Presiden Abraham Lincoln (1860-1865) menyatakan bahwa demokrasi bermakna “from the people, by the people and for the people” (dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat). Tapi sebelas tahun kemudian, Presiden AS Rutherford B. Hayes menyatakan bahwa kondisi AS kala itu “from company, by company and for company” (dari perusahaan, oleh perusahaan dan untuk perusahaan). Hal ini menunjukkan bahwa sejak kelahirannya kedaulatan dalam demokrasi bukanlah di tangan rakyat. Namun hanya di tangan segelintir rakyat pemilik modal.
Diberinya rakyat hak untuk memilih, mendanai pemilihan dan memberikan tenaganya untuk menyelenggarakan pemilihan pemimpin. Tanpa jaminan kehendak dan kepentingannya tertunaikan. Sebab negara lebih memberikan kesetiaan dan pelayanannya pada para korporat beserta rezim pendukung. Serta oligarki simbiosis penguasa dan pengusaha yang menjalankan kekuasaan atas nama rakyat. Meski tujuan sebenarnya hanyalah memastikan agar keuntungan didapat. Merupakan bukti atas berlakunya hipokrisi demokrasi. Dimana standar ganda dan bermuka dua senantiasa ada dan niscaya keberadaannya.
Alih-alih jadi pembawa perubahan. Demokrasi sejatinya hanyalah alat mengambil hak Allah untuk menentukan halal-haram berdasarkan suara terbanyak. Tapi begitu berhadapan dengan kepentingan penguasa dan pemilik modal yang dilayaninya. Suara terbanyak hanya tinggal impian semata. Ironisnya, pemilu semantiasa sukses jadi kamuflase cantik yang menyembunyikan borok demokrasi didalamnya.
Sejarah telah membuktikan, syariah Islam telah menciptakan kesejahteraan dan ketenteraman rakyat bagi jutaan manusia berabad-abad lamanya. Rasulullah saw mencontohkan penerapannya. Diikuti oleh para khulafaur rasidin dan para penguasa muslim sesudahnya. Sistem yang berhasil membawa negeri-negeri Islam sebagai mercusuar peradaban dan melahirkan pemimpin-pemimpin gemilang. Tanpa mengenal krisuh dalam prosesi pengangkatan pimpinan.
Dalam sistem Islam kedaulatan hanyalah milik syariah bukan milik rakyat. Syariahlah yang mengelola dan mengendalikan kehendak individu maupun umat. Sedangkan kekuasaan tertinggi yang bersifat absolut, mutlak dan berhak membuat hukum ada pada Allah SWT yang bersumber dari Al Quran dan Al Hadist. Maka tak diragukan kebaikan dan keberkahan atas penerapannya. Sebagaimana firman Allah, “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul, dan ulil amri diantara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnah). Jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama dan lebih baik akibatnya.
Sudah saatnya kita tinggalkan demokrasi yang syarat janji tak terbukti tuk meraih perubahan hakiki, sesuai apa yang Islam tuntunkan. Perubahan yang mampu mewujudkan rahmatan lil alamin dalam kehidupan. Wallahu a’lam bish showab. [RA/WuD]
*Anggota Komunitas Penulis Bela Islam